JAKARTA, KOMPAS.com - Kejaksaan Agung menetapkan mantan Direktur PT Mobile 8, Anthony Chandra Kartawiria dan Direktur PT Djaja Nusantara Komunikasi (DNK) Hary Djaja sebagai tersangka dugaan korupsi restitusi pajak PT Mobile 8 periode 2007-2009.
Namun, pengacara keduanya, Hotman Paris, menganggap kasus ini merupakan persoalan pajak yang tak semestinya ditangani Kejaksaan Agung.
"Yang mengatakan korupsi kan jaksa, sementara ini tindak pidana pajak. Jadi kan substansinya bukan tindak pidana korupsi," ujar Hotman kepada Kompas.com, Rabu (23/11/2016) malam.
Semestinya, kata Hotman, Direktorat Jenderal Pajak yang meneliti kasus ini. Karena itulah pihaknya mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Dalam persidangan, Hotman menghadirkan dua ahli, yaitu pakar hukum dari Universitas Muhammadiyah Jakarta Chairul Huda dan pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia Muzakir.
Menurut Hotman, para ahli pun menguatkan argumen soal gugatannya itu.
"Dua-duanya mengatakan bahwa penetapan tersangka tidak sah karena tindak pidana pajak kewenangan dari penyidik pajak," kata Hotman.
Meski begitu, Hotman meyakini bahwa tak ada persoalan pajak yang dilanggar. Dua kliennya telah mengikuti program pengampunan pajak atau tax amnesty.
Pengampunan pajak itu diajukan oleh PT DNK selaku pembeli. Obyek pengampunan pajaknya terkait transaksi yang diduga fiktif dengan PT Mobile 8.
"Artinya bukti tuduhan transaksi fiktif tidak bisa lagi dipake karena sudah tax amnesty," kata Hotman.
Hotman menekankan penjelasan pada Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak.
Pasal tersebut berbunyi, "data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kementrian Keuangan atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan Undang-Undang ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan/atau penuntutan pidana terhadap Wajib Pajak".
Jadi, kata Hotman, data dalam tax amnesty ini tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk tindak pidana apapun, termasuk korupsi.
"Jadi kasus ini sangat merusak citra tax amnesty. Tidak sejalan dengan komitmen Presiden," kata Hotman.
(Baca: Kejagung Tetapkan Mantan Direktur Mobile 8 Tersangka Korupsi Pajak)
Menurut Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung Arminsyah, penetapan Anthony dan Hary berdasarkan surat Nomor Print 25/F.2/ Fd.1/2016 dan Surat Nomor Print 129/F.2/Fd.1/10/2016 tanggal 19 Oktober 2016.
Keduanya dijerat Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kasus dugaan korupsi pajak ini bermula saat Kejaksaan Agung menemukan transaksi fiktif antara Mobile 8 dan PT Jaya Nusantara pada rentang 2007-2009.
Saat itu, PT Mobile 8 mengerjakan proyek pengadaan ponsel berikut pulsa dengan nilai transaksi Rp 80 miliar.
PT Jaya Nusantara Komunikasi ditunjuk sebagai distributor pengadaan. Namun, perusahaan tersebut ternyata tak mampu membeli barang dalam jumlah itu.
Akhirnya, transaksi pun direkayasa seolah-olah terjadi perdagangan dengan membuatkan invoice sebagai fakturnya.
Pada pertengahan 2008, PT Djaya Nusantara Komunikasi menerima faktur pajak dari PT Mobile 8 dengan total nilai sekitar Rp 114 miliar.
Faktur pajak itu diterbitkan agar seolah-olah terjadi transaksi pada dua perusahaan. Faktur pajak itu kemudian digunakan PT Mobile 8 untuk mengajukan kelebihan pembayaran (restitusi pajak) kepada negara melalui KPP di Surabaya agar perusahaannya masuk bursa Jakarta pada 2009.
PT Mobile 8 akhirnya menerima pembayaran restitusi meski tidak berhak karena tidak ada transaksi. Akibatnya, diduga negara mengalami kerugian sebesar Rp 10 miliar.