Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sistem Kebut Sebulan Kasus Ahok dan Upaya Polri Bebas dari Intervensi

Kompas.com - 17/11/2016, 06:43 WIB
Ambaranie Nadia Kemala Movanita

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Bareskrim Polri tidak memerlukan waktu lama untuk menemukan tindak pidana dalam kasus Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Meski dinilai penuh drama, mulai dari aksi demonstrasi besar, hingga pro-kontra gelar perkara terbuka terbatas yang pertama kali dilakukan dalam sejarah kepolisian, Bareskrim berupaya menangani kasus ini secara profesional.

Bak panggung utama, semua mata tertuju pada gelar perkara ini. Polisi terpaksa mengambil langkah yang beda dari biasanya untuk membuktikan kepada publik bahwa Polri menyelidiki kasus ini tanpa intervensi dan transparan.

Penyelidikan dimulai sejak 6 Oktober 2016, bermula dari laporan pimpinan perkumpulan advokat bernama Novel Chaidir Hasan Bamukmin. Semenjak itu, satu persatu laporan masuk.

Tak hanya dari Jakarta, pelapor juga berasal dari wilayah luar pulau Jawa. Hingga akhirnya 14 laporan dihimpun polisi.

Gelar perkara pun dilakukan pada Selasa (15/11/2016). Adapun, yang dimaksud terbuka bukanlah dengan disiarkan live di televisi, melainkan menghadirkan pihak netral sebagai pengawas, yakni Ombudsman dan Komisi Kepolisian Nasional.

Sebanyak 20 ahli dari segi kepakaran bidang agama, bahasa, dan pidana dihadirkan dalam gelar perkara tersebut.

Keputusan tidak bulat

Gelar perkara berlangsung hangat. Masing-masing ahli dari kepolisian, pelapor maupun terlapor diberi kesempatan untuk mengajukan pandangannya mengenai kasus ini.

Pendapat mereka pun beragam. Ada yang menganggap pernyataan Ahok terkait surat Al Maidah ayat 51 mengandung niat menistakan agama. Ada pula yang mengatakan tidak.

Rupanya, silang pendapat itu pun memengaruhi keyakinan penyelidik memandang kasus ini. Hal tersebut diakui Kepala Polri Jenderal Pol Tito Karnavian.

"Dalam gelar perkara kemarin, terlihat terjadi perbedaan pendapat oleh ahli. Ini memengaruhi penyidik, mereka jadi dissenting, tidak bulat," ujar Tito di ruang rapat utama Mabes Polri, Jakarta, Rabu (16/11/2016).

(Baca: Penetapan Ahok sebagai Tersangka Diwarnai Perbedaan Pendapat Ahli)

Pendapat tersebut membuat argumen berbeda di kalangan penyelidik untuk mengambil keputusan.

Meski putusan tidak bulat, kata Tito, namun sebagian besar penyelidik menganggap adanya tindak pidana dalam kasus Ahok dan menetapkannya sebagai tersangka.

(Baca: Kapolri Sebut Penyelidik Kasus Ahok Beda Pendapat soal Unsur Kesengajaan)

Nantinya, biar pengadilan yang memutuskan apakah dugaan tersebut terbukti atau tidak.

Kepala Bareskrim Polri Komjen Pol Ari Dono mengatakan, kepolisian ingin menjalankan proses penyidikan secepat mungkin hingga dibawa ke pengadilan.

Hal tersebut terbukti dengan pemeriksaan sejumlah saksi di tingkat penyidikan pada hari yang sama dengan pengumuman tersangka.

Dicegah, tetapi tak ditahan

Begitu muncul surat perintah penyidikan dan penetapan tersangka, Ahok langsung dicegah bepergian ke luar negeri.

Hal tersebut untuk mengantisipasi ada risiko tersangka akan melarikan diri, meski dianggap kecil kemungkinannya.

Penyidik beranggapan belum perlu dilakukan penahanan terhadap Ahok. Selama ini, kata Tito, Ahok dianggap cukup kooperatif dalam pemeriksaan.

Saat diundang untuk dimintai keterangan, Ahok hadir tepat waktu. Bahkan, saat pertama kali dimintai keterangan, Ahok berinisiatif datang sendiri sebelum diundang.

Menurut Tito, penahanan baru dilakukan jika penyidik menilai tersangka berpotensi melarikan diri dan menghilangkan barang bukti. Hingga saat ini, kekhawatiran itu tidaklah besar.

Namun, meski menganggap Ahok kooperatif, kekhawatiran penyidik akan adanya upaya melarikan diri tetap ada.

"Kami tidak ingin kecolongan. Lebih baik kami cegah," kata Tito.

(Baca: Kapolri Jelaskan Alasan Cegah Ahok Bepergian ke Luar Negeri)

Posisi sulit Polri

Kasus Ahok yang menyedot perhatian hampir seluruh warga Indonesia ini membuat posisi Polri menjadi sulit. Banyak langkah yang dipertimbangkan, termasuk keputusan untuk membuat gelar perkara terbuka terbatas.

"Apalagi dalam gelar perkara banyak perbedaan pandangan yang tajam dalam melihat kasus ini," ujar Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia (Lemkapi) Edi Hasibuan.

Edi menganggap polisi telah membuat keputusan yang berani dengan tetap melanjutkan kasus Ahok ke tingkat penyidikan.

Tentunya polisi telah memperhitungkan segala risiko, termasuk adanya upaya perlawanan lewat jalur praperadilan.

Meski begitu, mantan Komisioner Kompolnas itu mengapresiasi kerja Polri sejak dimulainya penyelidikan. Keputusan tersebut mematahkan anggapan yang selama ini terdengar, bahwa Polri diintervensi oleh pihak tertentu.

"Ini membuktikan Polri profesional dan independen dan mendengarkan suara masyarakat. Mari kita kawal terus kasus ini," kata Edi.

(Baca juga: Yusril: Penetapan Tersangka Ahok Bukti Polisi Bebas dari Intervensi)

Kompas TV Ahok Ditetapkan Tersangka Dugaan Penistaan Agama
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Anies Respons Soal Ditawari Jadi Menteri di Kabinet Prabowo atau Tidak

Nasional
Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Ajukan Praperadilan Kasus TPPU, Panji Gumilang Minta Rekening dan Asetnya Dikembalikan

Nasional
KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

KPU Bantah Tak Serius Ikuti Sidang Sengketa Pileg Usai Disentil Hakim MK: Agenda Kami Padat...

Nasional
Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Sedih karena SYL Pakai Duit Kementan untuk Keperluan Keluarga, Surya Paloh: Saya Mampu Bayarin kalau Diminta

Nasional
Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Hari Tuna Sedunia, Kementerian KP Siap Dorong Kualitas, Jangkauan, dan Keberlanjutan Komoditas Tuna Indonesia

Nasional
Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Sebut Suaranya Pindah ke PDI-P, PAN Minta Penghitungan Suara Ulang di Dapil Ogan Komering Ilir 6

Nasional
Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Jokowi Teken UU Desa Terbaru, Kades Bisa Menjabat Hingga 16 Tahun

Nasional
Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Soal Lebih Baik Nasdem Dalam Pemerintah atau Jadi Oposisi, Ini Jawaban Surya Paloh

Nasional
Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Sentil Pihak yang Terlambat, MK: Kalau di Korea Utara, Ditembak Mati

Nasional
Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Giliran Ketua KPU Kena Tegur Hakim MK lantaran Izin Tinggalkan Sidang Sengketa Pileg

Nasional
Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Sebut Polisi Tak Penuhi 2 Alat Bukti

Nasional
Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Sidang Administrasi Selesai, PTUN Minta PDI-P Perbaiki Gugatan terhadap KPU

Nasional
Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Bamsoet Apresiasi Sikap Koalisi Perubahan Akui Kemenangan Prabowo-Gibran

Nasional
PDI-P Harap PTUN Tidak Biarkan Pelanggaran Hukum yang Diduga Dilakukan KPU

PDI-P Harap PTUN Tidak Biarkan Pelanggaran Hukum yang Diduga Dilakukan KPU

Nasional
KPK Sebut SPDP Kasus Korupsi di PDAM Boyolali Hoaks

KPK Sebut SPDP Kasus Korupsi di PDAM Boyolali Hoaks

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com