JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyoroti sejumlah poin penting terkait penyelenggaraan haji dan umroh.
Poin-poin itu dibeberkan Lukman saat rapat kerja dengan Komisi VIII DPR terkait pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Haji dan Umroh. RUU tersebut telah disepakati untuk dilanjutkan ke tingkat panitia kerja.
Pertama, berkaitan dengan antrean jemaah haji Indonesia yang semakin bertambah setiap tahunnya karena animo masyarakat yang tinggi.
Antrean ini membuat tak sedikit jemaah yang berangkat saat usia sudah relatif di atas 50 tahun.
Catatan Kemenag, pada 2016, sekitar 38,7 persen jemaah haji berusia di bawah 50 tahun. Sedangkan yang berusia 51 tahun ke atas berjumlah 61,3 persen.
Adapun jemaah yang berusia 61 tahun ke atas berjumlah sekitar 27 persen.
Padahal, jemaah haji dituntut memiliki stamina prima untuk menjalani ritual keagamaan.
"Dengan karakteristik tipologi jemaah haji seperti itu tentu dalam realitas di lapangan akan menimbulkan masalah," ujar Lukman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (3/10/2016).
(Baca: Menag Anggap Ada Sejumlah Hambatan Jika Dibentuk Badan Khusus Haji)
Poin kedua, adalah berkaitan kompleksitas penyelenggaraan ibadah haji juga disebut sangat rumit.
Sebab, ada beragam jenis ritual ibadah yang tak hanya menimbulkan penghayatan spiritual personal yang beragam tapi juga pandangan tentang pelaksanaan yang juga tak seragam.
"Sengaja kami sampaikan karena nanti kita akan menghadapi sejumlah realitas yang tidak terhindarkan," sambung dia.
Selain itu, Lukman menambahkan, rangkaian ibadah haji juga dilakukan di Arab Saudi dengan segala regulasi yang ada.
Hal tersebut membuat pemerintah Indonesia tak leluasa untuk mengatur penyelenggaraan ibadah haji.
Karakteristik jemaah haji yang beragam juga harus dijadikan perhatian sebab akan berimplikasi dengan bentuk sosialisasi.
Misalnya dari segi pendidikan, Lukman memaparkan, jemaah haji yang berpendidikan SMA ke bawah berjumlah 69,74 persen.
Ia pun menceritakan korelasi dari kondisi tersebut dan fakta di lapangan. Salah satunya adalah penggunaan fasilitas yang tak maksimal.
Kebanyakan masyarakat yang berdomisili di Arab Saudi berbahasa asing, seperti Inggris atau Arab. Sedangkan banyak dari jemaah Indonesia yang tak pandai berbahasa asing.
Misalnya untuk penggunaan fasilitas mesin cuci di hotel. Lukman mengatakan, banyak yang tak menggunakannya karena jemaah haji Indonesia tak memahami cara pengoperasiannya dan tidak bisa bertanya karena tak menguasai bahasa Inggris.
Mereka pada akhirnya terpaksa mencuci menggunakan alternatif lain. Namun, tak sedikit pula yang tak bisa menjemur sendiri karena pada hotel standar bintang 3 hingga 5 kerap tak disediakan tempat cuci.
"Itu juga membawa dampak yang tidak sederhana dalam tataran implementatif," tutur Lukman.
Lukman berharap, poin-poin tersebut ke depannya dapat dijadikan masukan untuk memulai pembahasan RUU Penyelenggaraan Haji dan Umroh oleh pemerintah bersama DPR.