JAKARTA, KOMPAS.com - Banyaknya pimpinan lembaga negara yang berani memperdagangkan pengaruh dinilai karena lemahnya Undang-undang Tindak Pidana Korupsi.
Menurut Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo, UU Tipikor saat ini tak mengatur jelas ihwal perdagangan pengaruh.
Memperdagangkan pengaruh diduga dilakukan oleh Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman. Sebelumnya ada nama Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, yang disebut memperdagangkan pengaruh dalam kasus dugaan suap impor sapi.
"Dia punya pengaruh, dia pakai untuk kepentingan orang lain, entah itu teman, saudara, rekan bisnis setelah itu dia terima sesuatu. Nah trading of influence ini belum diatur," ujar Adnan usai Diskusi Berseri Madrasah Anti Korupsi Seri 11 di Jakarta, Senin (19/9/2016).
(Baca: KPK Tetapkan Irman Gusman sebagai Tersangka Dugaan Suap)
Saat ini, kata Adnan, UU Tipikor hanya membahas mengenai suap yang dilakukan oleh penyelenggara negara dan aparat penegak hukum.
Ini membuat banyak pimpinan lembaga negara berani memperdagangkan pengaruhnya untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
Pasalnya, perdagangan pengaruh yang dilakukan pimpinan lembaga negara tak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
"Pertanyaannya, kalau Irman tidak menerima Rp 100 juta bisa enggak ditangkap? Dalam kriminologi korupsi menurut UU Tipikor dia tidak korupsi. Tapi begitu terima Rp 100 juta itu baru dikategorikan suap. Karena yang difokuskan hanya suap," kata Adnan.
Menurut Adnan, kolusi dalam bentuk perdagangan pengaruh sebenarnya merupakan tindak kejahatan seperti yang diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi.
Hanya, Indonesia terlambat menerapkan ini lantaran tak kunjung merevisi UU Tipikor.
"UU Tipikor kita kan sudah lawas, lahir 1999, direvisi terbatas tahun 2001. Sekarang sudah 2016. Dalam 15 tahun UU ini tidak berubah. Sampai hari ini kita tidak daptasi terhadap prinsip-prinsip pbb anti korupsi, kita abai," ujar Adnan.