JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani menilai, dalam hukum pidana materiil, sudah ada ketentuan mengenai pidana tambahan.
Selain pidana pokok berupa hukuman penjara, ada hukuman denda dan ganti rugi serta hukuman tambahan berupa pencabutan hak.
Menurut dia, hukuman tambahan yang kini diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu sebaiknya dimaksimalkan terlebih dahulu sebelum mengusulkan ide-ide baru.
Hal itu diungkapkannya menanggapi usulan Komisi Pemberantasan Korupsi yang mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi tersebut diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
(Baca: Bebani Koruptor dengan Biaya Sosial)
"Itu kan semua sudah ada. Kenapa tidak ganti rugi atau dendanya dibesarkan, misalnya," kata Arsul, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (14/9/2016).
Ia juga meminta KPK untuk mencari tahu jumlah kerugian negara yang berhasil dikembalikan.
"Misal kerugian sekian ratus miliar. Berapa yang sudah berhasil di-recovery," ujar dia.
"Boleh saja sebagai penajaman, tapi apakah denda yang ada sudah dimaksimalkan atau belum? Harus dievaluasi," ujar Arsul.
Pengembalian kerugian negara
Sementara itu, Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi berpendapat, hal terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah penegakan hukum dengan benar sehingga kerugian negara dapat dikembalikan secara efektif.
"Nah, uang harus ditarik semuanya. Kalau dia mencuri uang Rp 500 juta, maka Rp 500 juta harus dikembalikan. Hukuman berlandaskan pasal-pasal dalam hukum kita," kata Taufiqulhadi.
Adapun Anggota Komisi III dari Fraksi PKS Nasir Djamil berpendapat, hukuman tambahan tersebut harus kembali pada putusan hakim pengadilan.
Hukuman tersebut baru bisa diberikan jika hakim menganggapnya layak dijatuhkan kepada terdakwa atau terpidana korupsi yang bersangkutan sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Ia menilai, usulan tersebut kurang tepat karena aturan terkait hukuman tambahan sudah diatur dalam "aturan main" yang ada.
Oleh karena itu, diperlukan kajian mendalam apakah memang usulan tersebut bisa diakomodasi dalam bentuk UU.
"Sebaiknya dipelajari dulu, kalau memang menurut penuntut bahwa memang dia layak untuk dibebankan itu ya enggak ada masalah sebenarnya. Tapi, dikaji dulu sehingga bisa saja kalau menang layak kita masukan ke revisi KUHP," tutur Nasir.
Biaya sosial
Sebelumnya, dikutip Harian Kompas, Komisi Pemberantasan Korupsi mendorong agar koruptor juga dikenai beban membayar biaya sosial.
Selain menumbuhkan efek jera dan gentar, gagasan penerapan hukuman biaya sosial korupsi ini juga diharapkan dapat memulihkan kerugian keuangan negara ataupun perekonomian akibat korupsi.
Gagasan itu menjadi antitesis dari hukuman rata-rata koruptor yang makin ringan, yaitu dari 2 tahun 11 bulan pada tahun 2013 menjadi 2 tahun 1 bulan pada tahun 2016.
Pada saat yang sama, sikap permisif terhadap bekas terpidana kasus korupsi juga makin kuat. Kondisi ini ditengarai menjadi penyebab korupsi masih banyak terjadi di Indonesia.
Perhitungan biaya sosial korupsi yang dikaji KPK terdiri dari biaya eksplisit dan biaya implisit.
Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan negara untuk mencegah dan menangani tindak pidana korupsi.
Biaya itu antara lain meliputi biaya penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pengadilan, hingga pemasyarakatan.
Adapun biaya implisit adalah biaya dari dampak yang timbul karena korupsi.
Dengan penghitungan biaya sosial korupsi, terdakwa korupsi dapat dituntut lebih tinggi daripada perhitungan kerugian negara yang selama ini dilakukan.
Dalam kajian KPK, peningkatan itu besarnya 4 kali hingga 543 kali lipat dibandingkan hukuman finansial yang diberikan pengadilan kepada para terpidana.
Biaya sosial korupsi ini dapat dilakukan dengan penerapan penggabungan perkara pidana dan perdata melalui gugatan anti kerugian sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 98 KUHAP.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.