JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Sudung Situmorang dan Asisten Pidana Khusus Kejati DKI Tomo Sitepu dinyatakan tidak terkait dalam kasus suap penghentian penyelidikan perkara korupsi di PT Brantas Abipraya.
Hal tersebut dijelaskan dalam surat tuntutan jaksa terhadap dua pejabat PT Brantas Abipraya di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (22/8/2016).
Jaksa penuntut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, Sudung dan Tomo tidak terbukti meminta uang sebagai biaya penghentian penyelidikan.
Dengan demikian, keduanya dianggap tidak mengetahui adanya rencana pemberian uang dari dua pejabat PT Brantas Abipraya, yakni Sudi Wantoko dan Dandung Pamularno.
(Baca: Kajati DKI dan Aspidsus dalam Pusaran Suap)
Dalam surat tuntutan, Jaksa menerangkan bahwa delik suap dapat disebut telah tercapai jika sudah ada kesepakatan di awal.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga menjelaskan bahwa tindakan memberi sesuatu dianggap telah selesai apabila ada kesepakatan, meski hadiah atau uang tidak langsung diterima oleh penerima suap.
"Namun, dalam fakta persidangan, antara dua terdakwa dengan Sudung Situmorang tidak terdapat meeting of mind (kesepakatan)," ujar Jaksa KPK Irene Putrie di Pengadilan Tipikor Jakarta. Inisiatif pemberi suap.
Selanjutnya, dalam surat tuntutan, Jaksa menilai bahwa dalam kasus ini, tindak pidana dapat dikategorikan sebagai percobaan suap.
(Baca: Kajati DKI Bertemu Perantara Suap, Kejagung Sebut Tak Ada Pelanggaran Etika)
Sejak awal, sudah ada kesepakatan di antara dua pejabat PT Brantas untuk memberi uang Rp 2,5 miliar kepada Sudung dan Tomo, untuk menghentikan penyelidikan kasus korupsi.
Sudi dan Dandung dinilai memanfaatkan perantara suap, yakni Marudut yang memiliki hubungan dekat dengan Sudung Situmorang. Dengan demikian, terdakwa terbukti melakukan permulaan pelaksanaan suap.
Inisiatif perantara suap
Sementara itu, mengenai rencana pemberian uang dan penentuan angka Rp 2,5 miliar, menurut Jaksa, hal tersebut merupakan inisiatif dari perantara suap, yakni Marudut.
Jaksa menilai, Marudut memiliki penafsiran sendiri mengenai hasil pembicaraannya dengan Tomo Sitepu.
Dalam persidangan sebelumnya, terungkap bahwa Tomo Sitepu menyatakan bersedia kepada Marudut untuk membantu menghentikan penyelidikan perkara PT Brantas Abipraya yang sedang ditangani Kejati DKI.
Tomo diduga meminta bantuan operasional berupa uang kepada pihak PT Brantas Abipraya. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), Marudut menceritakan, pada awalnya ia mendatangi Kantor Kejati DKI dan bertemu Sudung dan Tomo.
Ketiganya kemudian membicarakan mengenai kasus yang melibatkan PT Brantas Abipraya. Setelah itu, Sudung meminta agar Marudut mendiskusikan masalah tersebut dengan Tomo.
Di dalam ruangan Tomo, Marudut kembali menanyakan apakah perkara PT BA dapat dibantu untuk dihentikan. Menurut Marudut, Tomo bersedia membantu, asalkan PT Brantas Abipraya memberikan bantuan operasional yang dipersepsikan sebagai uang.
"Pak Tomo bilang, 'kita dalami dulu nanti kita lihat, nanti kalau bisa dibantu ya kita bantu. Makanya, kau tanya pada mereka, apa ada bantuan operasional, berapa?" ujar Jaksa saat membacakan BAP milik Marudut di Pengadilan Tipikor.
(Baca: Rp 500 Juta Disiapkan untuk Biaya Makan dan Main Golf Kepala Kejati DKI)
Selanjutnya, seusai menemui Tomo, Marudut bertemu dengan Dandung Pamularno dan menyampaikan permintaan uang operasional. Marudut menyampaikan uang operasional yang akan diberikan sebesar Rp 2,5-3 miliar.
"Dalam persidangan, Tomo bilang tidak pernah meminta uang. Marudut juga bilang itu permintaan uang hanya persepsi dia sendiri. Akhirnya keterangan kedua orang itu berkesesuaian, kami tidak ingin hanya menghadirkan asumsi tanpa bisa dibuktikan," ujar Jaksa KPK Abdul Basir.
Diduga bocor
Sudung Situmorang menyampaikan pesan singkat kepada Marudut melalui Blackberry Messenger (BBM). Pesan tersebut dikirimkan Sudung sebelum Marudut ditangkap oleh petugas KPK.
Dalam persidangan sebelumnya, Jaksa menunjukkan bukti berupa percakapan antara Marudut dan Sudung Situmorang pada 31 Maret 2016. Diduga, pada hari itu Marudut akan menyerahkan uang kepada Sudung.
Dalam percakapan tersebut, pada pagi hari, Marudut menanyakan apakah Sudung sedang berada di kantornya di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Sudung kemudian membalas, dengan memberitahu bahwa ia sedang berada di kantor.
(Baca: Ada Pesan yang Disampaikan Kajati DKI Sebelum Perantara Suap Ditangkap...)
Selang beberapa saat, Sudung kembali mengirimkan pesan singkat kepada Marudut. Pesan dalam bahasa Batak tersebut berisi imbauan atau peringatan agar Marudut membatalkan rencananya untuk datang ke Kantor Kejati DKI.
Sudung mengatakan, bahwa ia menerima informasi tidak baik, dan meminta agar Marudut berhati-hati. Diduga, Sudung mengetahui adanya informasi mengenai operasi tangkap tangan yang akan dilakukan KPK.
"Unang ro Saonari, mundur. Adong info naso denggan (tak usah datang hari ini, mundur. Ada info yang tidak benar), hati-hati," tulis Sudung dalam pesan singkat kepada Marudut.
Kepada Jaksa, Sudung mengatakan, kata-kata tersebut memaksudkan bahwa ia meminta Marudut tidak datang, karena ia sedang dalam kondisi tidak sehat. Sudung beralasan bahwa informasi tidak baik yang ia katakan, terkait kondisi badannya yang tidak sehat.
(Baca: Uang Suap untuk Kepala Kejati DKI Disamarkan dengan Sebutan "Foto Copy")
Sementara kata "hati-hati" yang diucapkannya, menurut Sudung, hanya sebagai kata penutup yang biasa ia gunakan saat mengirim pesan singkat.
"Karena saya kurang sehat, saya BBM lagi dengan bahasa Batak, situasi saya kurang baik, lain waktu saja, hati-hati," kata Sudung.
Jaksa Abdul Basir mengatakan, pesan tersebut dikirimkan Sudung pada jam 13.00, atau setelah Marudut ditangkap oleh petugas KPK.
Sementara, mengenai isi pesan yang dikirimkan Sudung, menurut Basir, Jaksa tidak dapat berasumsi apakah hal itu memaksudkan telah terjadi kesepakatan sebelumnya.
"Persidangan itu tidak boleh menghadiri apa yang diyakini atau diasumsikan. Persidangan itu harus menghadirkan fakta yang bisa dibuktikan," kata Basir.