Seorang anggota dewan yang menyumbang Rp 150 juta untuk keperluan kampanye pilkada dinilai lumrah untuk ukuran anggota legislatif.
"Kecuali kalau ada kader yang anggota dewan menyumbang sampai Rp 3 miliar untuk partai, itu biasanya dipertanyakan dari mana asalnya," kata Arif.
Secara terpisah, peneliti Indonesian Corruption Watch, Febri Hendri, menekankan perlunya pembenahan sistem pembahasan anggaran di DPR, mulai dari tahap pembahasan di komisi sampai ke Banggar.
Sistem pembahasan yang transparan dan tercatat bisa mengurangi potensi korupsi anggota DPR.
"Sejak perencanaan dan pembahasan anggaran di legislatif harus dibuat terbuka, untuk menekan niat korupsi. Caranya bisa dengan sistem penganggaran elektronik sehingga semua tercatat, mulai dari perencanaan usulan proyek sampai setiap detail perubahan anggaran saat pembahasan di DPR," katanya.
Sementara itu, KPK kemarin memanggil staf Partai Demokrat di DPR, Ippin Mamonto, sebagai saksi kasus dugaan suap pemulusan 12 proyek ruas jalan di Sumatera Barat.
Pelaksana Harian Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi Yuyuk Andriati mengatakan, Ippin diperiksa untuk tersangka mantan anggota Komisi III DPR I Putu Sudiartana.
Wakil Ketua KPK Basaria Pandjaitan menuturkan, kasus dugaan suap itu terus diselidiki setelah operasi tangkap tangan terhadap Putu akhir Juni lalu. Dugaan suap itu terkait rencana pembangunan 12 ruas jalan dengan nilai total Rp 300 miliar. (AGE/C08)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2016, di halaman 3 dengan judul "Anggota DPR Jadi Sumber Kas".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.