JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharam menegaskan fraksinya keberatan untuk menyetujui pengesahan RUU Tax Amnesty. Pasalnya, masih ada pasal-pasal bermasalah.
“Kami sangat keberatan untuk menerima dan menyetujui RUU dalam sidang paripurna ini, karena masih ada 4 pasal dan 2 catatan yang bermasalah," tulis Ecky dalam keterangan persnya, Selasa (28/6/2016).
Ecky menyatakan, pertama, permasalahan ada di pasal 3 ayat 5 tentang obyek pengampunan pajak. PKS meminta obyek pengampunan pajak cukup pada PPh (Pajak Penghasilan pasal 21), tidak perlu sampai pada PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPN barang mewah.
"Sebab praktik yang lazim dalam pengampunan pajak hanya mengampuni pajak penghasilan saja," papar dia.
Ecky menuturkan perluasan obyek pajak kepada PPN dan PPN barang mewah akan berdampak buruk pada penerimaan negara secara keseluruhan. Fraksi PKS juga mengusulkan bahwa pokok pajaknya tidak diampuni, sehingga yang diampuni hanya sanksi administrasi dan pidana perpajakannya saja.
(Baca: Jokowi Harap Uang dari "Tax Amnesty" Bisa Dipakai Untuk Infrastruktur)
Kedua, yakni pada pasal 4. Ecky menuturkan dalam pasal ini, pemerintah mengobral tarif yang sangat rendah yakni sebesar 1hingga 6 persen.
"Ini sangat tidak adil jika dibandingkan dengan tarif PPh yang sesuai dengan ketentuan peraturan perpajakan yaitu sebesar maksimal 30 persen, ditambah sanksi administrasi 48 persen dari pokok, dan sanksi pidananya," lanjut Ecky.
Dia menyatakan, dengan obral tarif tebusan ini negara kehilangan potensi pemasukan yang sangat besar sekaligus mencederai rasa keadilan bagi mayoritas masyarakat yang patuh membayar pajak.
Ecky menyatakan Fraksi PKS memperjuangkan agar tarif yang dikenakan tetap sesuai dengan ketentuan perpajakan, yakni sebesar 30 persen.
Berikutnya, PKS juga mempersoalkan Pasal 20. Pasal tersebut mengatur bahwa data dan informasi yang bersumber dari Surat Pernyataan dan lampirannya tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan dan penuntutan pidana.
(Baca: Tiga Fraksi Berikan Catatan, DPR Tetap Sahkan RUU "Tax Amnesty")
"Kami berpandangan bahwa pasal ini rawan untuk disalahgunakan, dan memberikan ruang bagi pidana lain, seperti korupsi, narkoba, terorisme, human trafficiking dan pencucian uang untuk bersembunyi," papar dia.
Keempat, Ecky menyatakan PKS juga tak menyetujui dana repatriasi yang bisa disimpan dalam bentuk instrumen keuangan lain sebagaima diatur pada pasak 12 ayat 3.
"Kami inginnya dipastikan dana tersebut mengalir ke sektor riil dan infrastruktur, yang berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja," lanjut dia.
(Baca: Rieke Protes Pembahasan UU "Tax Amnesty" Tertutup dari Hotel ke Hotel)
Berikutnya, PKS menuntut dana masuk yang ditampung melalui SBN (Surat Berharga Negara), harus disimpan dalam SBN khusus dengan imbal hasil yang tidak lebih tinggi dari tarif tebusan repatriasi, agar tak menguntungkan si pengemplang pajak.
Dia menambahkan, repatriasi pun harus benar-benar masuk dari luar Indonesia dengan masa penyimpanan yang lebih lama, yakni minimal lima tahun, bukan tiga tahun sebagaimana usulan pemerintah.
Fraksi PKS juga menilai batas waktu terakhir pengampunan pajak menjadi 31 Maret 2017 tidak sejalan dengan masa berakhirnya APBN 2016 yaitu sampai 31 Desember 2016.
"Ini semakin menambah ketidakpastian bahwa target penerimaan pajak dari Pengampunan Pajak akan tercapai," lanjut Ecky.