JAKARTA, KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai, belakangan ini muncul privilese atau hak istimewa yang diberikan kepada pengambil kebijakan di sektor pertahanan dan keamanan.
Hak istimewa itu salah satunya dalam membuat serangkaian kebijakan di Indonesia.
Wakil Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Puri Kencana Putri mengatakan mengatakan, privilese itu diberikan untuk merespons desas-desus, gosip dan alur informasi yang tidak bisa dilacak kebenarannya.
Menurut dia, pasca simposium 1965, pemegang kebijakan pada sektor keamanan menjadi liar.
Hal itu, kata Puri, terlihat dari munculnya isu yang tidak bisa diverifikasi seperti kebangkitan Partai Komunis indonesia dan ideologi komunisme.
Isu itu kemudian menyulut kelompok konservatif tertentu untuk memelihara ketakutan dan teror terhadap kelompok lain yang kerap dituduh mengglorifikasi gagasan komunisme.
"Kontras konsisten memantau kondisi pasca simposium 65. Kami melihat ada efek yang berpotensi melanggar kondisi penegakan HAM di Indonesia. Misalnya, tindakan penangkapan oleh tentara terhadap orang-orang yang diduga menyebar ajaran komunisme," ujar Puri, saat jumpa pers di kantor Kontras, Jakarta Pusat, Senin (13/6/2016).
Puri mengatakan, ada indikasi privilese dan tindakan represif yang terjadi diciptakan untuk menghalangi upaya pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Dia menyoroti isu komunisme yang tiba-tiba saja muncul setelah pemerintah menggelar simposium nasional 1965.
Desakan untuk tidak meminta maaf kepada korban peristiwa 1965 yang disebut eks PKI pun dipertanyakan.
Apalagi, lanjut Puri, tidak lama berselang Menhan menyatakan akan segera membentuk Kantor Wilayah Kementerian Pertahanan di 34 Provinsi di Indonesia, dengan meminta staf dan perwakilan kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
"Kami menilai ada semacam operasi tertutup yang dilakukan untuk menghalangi upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu," kata Puri.
TNI di ranah sipil
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Imparsial Al Araf menyoroti privilese ini dalam bentuk pelibatan TNI dalam ranah sipil melalui berbagai MOU atau perjanjian kerja sama dengan kementerian dan instansi sipil lainnya.
Menurut Araf, secara normatif, tugas TNI dalam menjalankan operasi militer selain perang hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik dari Presiden, bukan didasarkan pada MOU.