Hamka Haq dalam buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam (2011) menulis bahwa sila itu merupakan hasil kompromi antara ideologi Islam dan ideologi kebangsaan yang mencuat selama rapat BPUPKI berlangsung.
Sejumlah pembicara dalam sidang BPUPKI dari kalangan Islam, seperti Ki Bagoes Hadikoesoemo, menilai bahwa kemerdekaan Indonesia diraih juga berkat perjuangan umat Islam.
"Tak akan ada nation Indonesia tanpa umat Islam. Lebih dari itu, karena kalangan nasionalis Indonesia yang berjuang dalam lingkup nasional yang mula pertama memang berwatak Islam," demikian pernyataan Ki Bagoes, seperti dikutip dari buku yang ditulis Hamka Haq.
Argumen itu kemudian disanggah karena dinilai hanya melihat bangsa Indonesia berdasarkan demografis. Umat Islam di Indonesia memang mencapai 90 persen.
Jika melihat kondisi geografis, khususnya di Indonesia timur, maka komposisinya berbeda.
Pertimbangan bahwa Indonesia merupakan sebuah gugusan kepulauan dari Sabang sampai Merauke itu juga yang menyebabkan muncul usulan agar dasar negara tidak berdasarkan agama tertentu.
Oleh karena itu, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agustus 1945, diputuskan untuk melakukan perubahan pada sila pertama dari yang ditulis dalam Piagam Jakarta.
Tujuh kata itu, "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya", kemudian dihapus.
"Sesungguhnya tujuh perkataan itu hanya mengenai penduduk yang beragama Islam saja, pemimpin-pemimpin umat Kristen di Indonesia timur keberatan kalau tujuh kata itu dibiarkan saja, sebab tertulis dalam pokok dari pokok dasar negara kita, sehingga menimbulkan kesan seolah-olah dibedakan warga negara yang beragama Islam dan bukan Islam," demikian penjelasan Muhammad Hatta.
Hingga kemudian, rumusan Pancasila versi 18 Agustus 1945 itu menjadi seperti yang dikenal saat ini, yaitu:
1. Ketuhanan yang Maha Esa
2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan
5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Keputusan dihapuskannya kata "syariat Islam" memang belum memuaskan sebagian umat Islam. Sebagian kelompok masih berjuang untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta itu.
Mengutip buku Pancasila 1 Juni dan Syariat Islam, ada kelompok yang kemudian mengekspresikannya dengan bentuk pemberontakan bersenjata. Misalnya, pemberontakan yang dilakukan kelompok DI/TII/NII.
Hamka Haq juga menulis, upaya untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta juga diperjuangkan melalui jalur politik.
Dalam sidang-sidang konstituante di Bandung pada periode 1956-1959, misalnya, sejumlah partai yang berasaskan Islam berupaya memperjuangkan berlakunya syariat Islam sebagai dasar negara RI.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.