Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

18 Mei 1998 Jakarta Mencekam, tetapi Mahasiswa Bergerak Kuasai Gedung DPR/MPR

Kompas.com - 18/05/2016, 11:19 WIB
Nabilla Tashandra

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang juga aktivis mahasiswa di era reformasi, Adian Yunus Yusak Napitupulu, mengenang peristiwa Mei 1998, sebelum jatuhnya Presiden Soeharto.

Adian berkisah tentang peristiwa yang terjadi hari ini pada 18 tahun silam, 18 Mei 1998. Ketika itu, demonstrasi mahasiswa semakin besar dalam menuntut Soeharto untuk lengser keprabon.

"Situasi saat itu mencekam. Aparat militer tanpa identitas namun bersenjata ada di tiap sudut Jakarta," demikian kenangan Adian, dalam keterangan tertulisnya yang diterima Kompas.com, Rabu (18/5/2016).

"Lapis baja, mulai water cannon hingga panser meraung di jalanan. Sniper menunggu kampus-kampus yang akan bergerak," lanjut Adian.

Adian berkisah, berdasarkan rapat mahasiswa pada malam sebelumnya, setiap simpul dari 54 kampus yang tergabung dalam Forum Kota diminta membawa setidaknya 20 mahasiswa dari tiap kampus yang siap jadi martir.

"Total 1.242 mahasiswa dari 54 kampus sudah harus tiba di lokasi. Jika pukul 10.00 WIB tak terjadi bentrokan, maka setiap kampus diharuskan memberangkatkan 50 mahasiswa lagi," tulis Adian.

Adian melanjutkan, jika hingga pukul 12,00 WIB tidak ada pertumpahan darah, maka semua mahasiswa diminta mengosongkan kampus. Seluruh mahasiswa diminta bergerak ke Gedung DPR/MPR.

"Tapi kalau pukul 09.00 WIB terjadi bentrokan, maka 54 kampus diminta untuk memblokir jalan raya depan kampus masing-masing," ujar Adian, yang juga Sekretaris Jenderal Perhimpunan Nasional Aktivis 98 (PENA 98) itu.

Mahasiswa memang cenderung bergerak hati-hati dan tidak sporadis, mengingat sudah ada korban jiwa saat mahasiswa Universitas Trisakti melakukan unjuk rasa.

"Enam hari lalu, empat mahasiswa Trisakti ditembak mati," tulis Adian.

Tidak hanya itu, setelah itu juga terjadi kerusuhan di Jakarta dan sejumlah kota besar di Indonesia. Kerusuhan itu juga disertai kekerasan berbasis prasangka rasial.

Saat itu, kata Adian, mahasiswa berpikir bahwa 90 persen dipastikan akan terjadi pembantaian massal. Namun, itu tidak menjadikan mahasiswa tak punya nyali untuk bergerak.

"Takut? Itu pasti. Kami pun ingin kuliah cepat dan lulus tanpa di-drop out atau di-dor (ditembak mati). Tapi apa pilihan kami?" lanjut dia.

Namun, aksi itu kemudian membuahkan hasil. Pukul 12.00 WIB, mahasiswa yang berkumpul di depan gerbang DPR/MPR sudah mencapai 7.000 orang. 

"Jumlahnya terus dan terus bertambah," kenang Adian.

Halaman:


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com