Hari Buruh Internasional alias May Day yang diperingati tiap tanggal 1 Mei, seolah identik dengan unjuk rasa. Hampir tidak pernah terjadi di republik ini, peringatan hari buruh tanpa melibatkan massa turun ke jalan.
Dari tahun ke tahun tuntutannya hampir sama, yakni soal kecilnya upah, status kekaryawanan, serta tiadanya jaminan sosial. Bisa disimpulkan, buruh masih merasa tingkat kesejahteraannya rendah.
Namun demikian, masih sangat banyak orang yang ingin menjadi buruh. Tentu pengertian “buruh” di sini juga meliputi karyawan di berbagai bidang dan industri.
Dalam berbagai bursa kerja, orang berbondong-bondong mendaftarkan diri menjadi buruh. Sedikit yang diterima, banyak yang gagal.
Mengenai mereka yang gagal ini, saya ingat “nasib” beberapa teman dan kerabat. Salah satunya adalah Joko Pitik. Teman semasa SMP ini dipanggil “pitik” karena suaranya yang mirip ayam tercekik saat dia akil balik.
Sekitar 16 tahun lalu saya tanpa sengaja bertemu lagi dengan Joko Pitik di sebuah kereta menuju Yogyakarta. Saat itu saya “berhasil” diterima sebagai pegawai di sebuah perusahaan, dan pulang untuk mengambil barang-barang yang saya perlukan untuk pindah ke Jakarta.
Sementara Joko, di lain pihak, pulang karena “gagal.” Dia kehabisan uang saku, setelah ke sana ke mari mencari pekerjaan. Semua barang yang dibawanya sudah ia jual untuk menyambung hidup dan berjuang menjadi karyawan.
Tanpa uang lagi untuk bertahan hidup, ia memutuskan pulang kampung dan bertani semangka. Bercerita ia soal lamaran-lamaran yang ia masukkan ke perusahaan, mulai yang besar hingga kantor-kantor dan pabrik-pabrik kecil. Semua tanpa jawaban.
“Aku memang orang bodoh,” katanya. Kata itu sering dia ucapkan sejak di masa sekolah dulu. Aku memang bodoh, itu kata yang saya ingat.
Percakapan kami terhenti saat itu karena petugas kereta datang dan memeriksa tiket penumpang. Rupanya kawan ini tidak memiliki tiket. Ia nekat saja naik kereta. “Aku sembunyi dulu,” ujarnya, lalu menghilang.
Bertahun-tahun kemudian aku mendengar kabar Joko sudah menjadi juragan. Dia memiliki toko bahan bangunan yang laris, serta punya banyak aset tanah. Anaknya belajar di sekolah pilihan, dan dia bisa rutin membawa keluarganya melancong ke luar negeri.
Cerita serupa juga terjadi pada kerabat saya. Ia dulu setengah mati mencari pekerjaan. Sekalinya mendapat pekerjaan sebagai kasir penukaran koin di tempat hiburan, polisi menggerebek tempat itu karena dianggap sarang perjudian.
Tanpa pekerjaan, ia pun bertahan dengan membuat kue donat dan menjajakannya ke tetangga sekitar. Sering kuenya tidak laku sehingga dimakan sendiri. Namun ia bertahan dan membuat kue dan roti jenis lain.
Usaha itu rupanya berkembang. Perlahan permintaan mulai banyak. Toko dan hotel mengambil kue darinya. Kini setiap pagi puluhan motor dan mobil mengambil roti darinya untuk dijual kembali. Uangnya lebih dari cukup untuk sekadar hidup.
Hal yang sama juga terjadi pada adik saya. Berbagai lowongan pekerjaan dicoba. Tak ada yang menerimanya sebagai pegawai atau buruh.
Untuk menyambung hidup, ia pun membuat kue, menitipkannya ke warung dan toko. Hasilnya tak seberapa.
Saat anak-anak lain di sekolah merayakan ulang tahun dengan makanan dari restoran cepat saji, adik saya membawakan tumpeng bikinan sendiri untuk berhemat. Namun dari situlah rejeki mengalir.
Orang-orang menanyakan di mana ia membeli tumpeng. Setelah dijawab buatan sendiri, pesanan pun berdatangan.
Kini setelah sekian tahun, ia memiliki usaha catering yang melayani pesta-pesta pernikahan, rapat-rapat besar dan berbagai pertemuan lain. Kakaknya yang menjadi manajer pun meminjam uang untuk renovasi rumah dari dia.
Bayangkan seandainya ketiga orang itu dahulu diterima bekerja sebagai pegawai atau buruh. Akankah mereka menikmati kehidupan seperti saat ini? Bekerja dekat dengan keluarga, mengatur waktu sendiri, tak harus memohon-mohon agar gaji naik.
Sementara banyak orang yang “berhasil” mendapat pekerjaan, namun hari-hari ini mengeluh karena perusahaan memang tidak adil dalam memberikan upah. Tenaga mereka diperas untuk memperkaya orang lain, dan mereka pun turun ke jalan untuk memperjuangkannya.
Saya tidak mengatakan menjadi buruh itu salah. Toh saya juga buruh media. Sejauh kita menikmati dan menyukai pekerjaan kita, tak ada yang keliru.
Namun bagi yang belum menemukan kepuasan, saya hanya ingin menyampaikan bahwa masih ada banyak jalan untuk mengubah nasib kita. Nasib tak melulu ditentukan pemberi kerja, saat kita harus berdemonstrasi untuk memperbaikinya.
Kita yang dahulu mengalahkan orang lain dalam seleksi penerimaan pegawai, mestinya memiliki nilai lebih dan kemampuan mengubah nasib. Bila Joko Pitik yang menganggap dirinya bodoh dan “gagal” diterima perusahaan bisa menjadi juragan, kita mestinya juga bisa kan?
Masalahnya, setelah menjadi pegawai, kita sering terlena dalam kenyamanan. Kita kurang terdesak sehingga tidak berusaha survive. Kita menjadi pasif dan menggantungkan nasib pada kemurahan pemberi kerja. Dan lebih utama lagi, kita takut gagal.
Itu perasaan yang wajar. Tak semua usaha mulus berjalan. Joko Pitik pernah menjadi pria yang hitam legam terbakar matahari di ladang sebelum memutuskan membuka toko.
Sepupu saya penjual roti sering pulang dengan keranjang roti masih penuh, tak ada yang laku. Adik saya sering bekerja hingga dini hari membuat pesanan. Intinya, semua perlu usaha.
Tapi begitulah mengubah nasib. Life begin at the end of your comfort zone. Tinggal keberanian kita meninggalkan kenyamanan sebagai pegawai atau buruh.
Meski terlambat, selamat Hari Buruh. Namun yang jelas tidak ada kata terlambat bila kita ingin mengubah nasib…
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.