Menurut Pasal 9 Kepres itu, "Terhadap Pegawai Negeri yang berdasarkan hasil penelitian ternyata terlibat dalam gerakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dikenakan penindakan administratif."
Harmoko, mantan Menteri Penerangan pada era Soeharto, dalam sebuah kesempatan pernah mengungkapkan, litsus adalah upaya pemerintah untuk menelusuri karakter dan ideologi seorang warga negara, terutama pegawai negeri sipil. Jejaknya pada masa lalu ditelusuri.
"Ada di mana waktu 1965. Termasuk cek keluarganya," kata dia.
"Ibu gue orang yang sangat jujur. Dia tidak pernah bisa berbohong. Dia begitu gelisah. Kami enggak nyangka dia bakal mengakhiri kegelisahannya dengan cara begitu," teman saya terisak. Baru kali ini saya melihatnya menangis.
Aib
Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, bahkan di ujung kekuasannya pada tahun 1990-an, cap PKI adalah aib yang amat menodai kehormatan seorang manusia Indonesia. Ia seolah noda yang harus dipinggirkan dalam hidup bermasyarakat.
Ibu teman saya sepertinya tak kuat menanggung aib itu meskipun saya yakin seyakin-yakinnya ia adalah orang baik dan tidak paham apa itu komunisme. Ia masih remaja ketika peristiwa itu meletus.
Kita tahu, ada banyak cerita lain yang lebih mengenaskan tentang mereka yang diaibkan masyarakat karena sesuatu yang tak pernah dipahaminya.
Dalam simposium Membedah Tragedi 1965, di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (18/4/2016) lalu, Sumini, seorang penyintas, memberi kesaksian bagaimana dirinya ditahan selama hampir 6,5 tahun hanya karena pernah menjadi Ketua Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) ranting Pati, Jawa Tengah. Siksaan demi siksaan, stigma, bahkan cemoohan harus dia terima selama mendekam di penjara.
Kini, pada usia yang sudah menginjak 70 tahun pun ia masih tidak memahami apa yang menjadi dosa besar dirinya ketika memutuskan untuk bergabung dengan Gerwani. (Baca: Kisah Sumini Seorang Guru yang Dicap Komunis)
Kesaksian lain dituturkan seorang penyintas pada Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda, tahun lalu. Tintin Rahaju (bukan nama sebenarnya) berusia 70 tahun saat memberikan keterangan dalam persidangan itu.
Ia masih mahasiswa dan menyambi jadi guru saat peristiwa kelam itu terjadi. Tentara menangkapnya karena mencurigai dirinya sebagai anggota Gerwani.
Ia diinterogasi sambil disiksa dengan keji: naik ke atas meja, ditelanjangi, tubuhnya disunduti rokok, bulu kemaluan dan rambutnya dibakar. Maaf, saya terpaksa harus menyebut siksaan pada bagian kalimat paling akhir itu.
Ada banyak cerita lain yang tak mampu saya tulis karena jari jemari ini kelu untuk mencatat kisahnya. Cerita mereka itu menikam jantung kemanusiaan kita.