JAKARTA, KOMPAS.com - Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengatakan, perpanjangan masa tahanan dibutuhkan Densus 88 Antiteror untuk menggali informasi darinterduga teroris.
Menurut dia, masa penahanan yang diperpanjang itu tidak berpotensi melanggar hak asasi manusia sebagaimana banyak dikhawatirkan.
"Pelanggarannya di mana? Kan kalau penahanan itu dikurangi masa hukumannya," ujar Badrodin di Rupatama Mabes Polri, Jakarta, Kamis (21/4/2016).
Menurut Badrodin, dengan panjangnya masa penahanan, maka hukumannya akan lebih singkat karena dipotong masa penahanan. Ia menegaskan bahwa penyidik bisa saja membutuhkan waktu lebih dari yang berlaku saat ini untuk mengorek informasi.
"Sehingga menurut saya dari perspektif penyidikan tidak ada masalah," kata Badrodin.
(Baca: Pasal “Guantanamo” di RUU Antiterorisme Penuh Kontroversi)
Salah satu pasal dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mencantumkan bahwa penyidik atau penuntut berhak menahan seseorang yang diduga teroris dalam waktu 6 bulan untuk proses pembuktian.
Pasal baru itu dianggap sarat pelanggaran HAM dan menunjukkan ketidakmampuan penyidik dalam melakukan pengusutan dalam waktu cepat.
Ketua Panitia Khusus (Pansus) revisi Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Ahmad Syafii mengakui masih ada pro dan kontra dalam menyikapi draf RUU yang diajukan oleh pemerintah.
(Baca: Ini Poin-poin Revisi UU Antiterorisme yang Diusulkan Pemerintah)
Salah satu yang menjadi perhatian adalah aturan mengenai penahanan terduga teroris yang bisa hingga enam bulan.
"Ini mengkhawatirkan. Apakah tidak melanggar HAM? Apakah itu tidak melanggar hukum? Ini akan kami kaji dengan hati-hati dan komprehensif," kata Syafii.
Pansus akan mengundang Kementerian Hukum dan HAM untuk memaparkan urgensi RUU ini. Setelah itu, Pansus akan memanggil Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Densus 88, Tentara Nasional Indonesia, Badan Intelijen Negara, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.