JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, belum ada aturan dalam draf revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 yang mengatur terkait bagaimana negara merespons korban kasus terorisme.
Dalam UU tersebut, soal kompensasi tak terakomodasi dengan baik dan sulit diimplementasikan.
"Pada kasus Bom Thamrin, presiden bilang bahwa negara akan membiayai dan bertanggung jawab kepada korban," ujar Edwin usai acara diskusi di Hotel Morrissey Jakarta, Selasa (8/3/2016).
"Praktiknya di lapangan tidak ada satu pun kementerian yang berani untuk mengeksekusi itu, problemnya dalam konteks negara adalah anggaran APBN," ucapnya.
Menurut Edwin, tidak ada dalam pagu kementerian-kementerian tersebut bahwa lembaganya dapat mengeluarkan uang untuk membiayai korban Bom Thamrin.
Selama tidak ada dalam anggaran kementerian, mereka pun enggan mengambil risiko akan dipersoalkan secara adminisitratif. Apalagi, persoalan hukum jika di kemudian hari dianggap melakukan korupsi.
Edwin menyebutkan, Pemerintah DKI lah yang ternyata membiayai korban Bom Thamrin saat keadaan darurat.
Namun, hal tersebut bisa terjadi karena Pemda DKI memiliki modal finansial yang cukup untuk membiayai itu.
"Bagaimana kalau ini terjadi di Poso, apakah pemdanya punya cukup uang untuk biayai para korban terorisme di sana. Ini tentu tidak bisa disamaratakan," kata dia.
Karena itu, penegasan harus dimasukkan ke dalam revisi UU Terorisme terkait lembaga atau kementerian mana yang bertanggung jawab pada saat keadaan darurat medis.
Pasalnya, regulasi tersebut akan berkonsekuensi pada dua hal, yaitu subjek dan anggaran.
"Karena punya beban anggaran yang harus disiapkan dalam APBN," ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.