Pagi hari di sebuah sel salah satu lembaga pemasyarakatan di Jawa Barat, 20 narapidana harus berbagi dua termos air panas. Tentu tak cukup.
Masing-masing berusaha dengan kemampuan keuangannya. Kalau tak ada uang, plastik kemasan pun menjadi bahan bakar untuk memanaskan air.
Dengan ukuran sel hanya 4 meter x 6 meter, untuk tidur pun tak ada yang leluasa bagi ke-20 napi itu.
Bagi napi berkantong tebal seperti bandar besar narkoba dan napi kasus korupsi, kehidupannya tentu berbeda kendati berada di lembaga pemasyarakatan (LP) yang sama.
Fasilitas kamar mandi, perlengkapan meja, lemari, dan kasur tebal tersedia meski ruangannya berukuran 1,5 meter x 3 meter.
Kemewahan lain adalah colokan listrik. Menggunakan telepon genggam dan komputer jinjing tiada kendala.
Cerita itu dituturkan salah seorang napi LP tersebut. Sebut saja namanya Arya. Dia pernah terlibat kasus narkoba dan sekarang mengaku jera.
Saat ditemui di penjara, tubuhnya kurus dan tak segempal beberapa tahun lalu.
"Kalau kami, ya, ngecharge HP (telepon seluler) bisa di mana saja, di masjid, misalnya," ujar Arya.
Pulsa mudah diperoleh sebab banyak penjual pulsa isi ulang elektrik di dalam penjara.
Kepemilikan telepon genggam dan alat komunikasi lain oleh napi memang lumrah terjadi di sejumlah LP.
Sipir pun tahu sama tahu. Peredaran narkoba pun mudah dikendalikan bos narkoba di dalam penjara.
"Kan, mudah menandai mana yang masih menjalankan bisnis narkobanya, (kendati dalam penjara) dandanannya masih perlente, jam tangannya mahal, nelpon sesukanya, besuknya juga boleh kapan saja," tutur Arya.
Kalau ada razia, bagaimana? Menurut Arya, petugas akan mengamankan harta benda para bos narkoba dulu.
Terus beroperasinya bisnis narkoba para bandar ini tak lepas dari tingginya kebutuhan uang di lingkungan penjara.
Ketika seorang kepala LP akan berlibur, misalnya, dia cukup memanggil para bandar untuk menyediakan uang liburan.
Sipir pun harus kebagian jatah. Para bandar tentu menyediakan apa pun kebutuhan kepala LP agar fasilitas tetap bisa dinikmati.