KOMPAS.com — Labora Sitorus kembali membuat ulah. Mantan polisi berpangkat ajun inspektur satu (aiptu) tersebut tiba-tiba menghilang dari rumahnya di Sorong, Papua, saat hendak dijemput untuk dipindahkan ke LP Cipinang, Jakarta.
Saat menjemput Labora pada Jumat (4/3/2016) pukul 06.00 WIT, tim gabungan dari TNI, Polri, serta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mendapat perlawanan dari sejumlah orang yang berusaha melindungi Labora.
Pintu ke area tempat tinggal Labora ditutup dengan kendaraan besar seperti kontainer. Terang benderang sudah, rencana penjemputan itu bocor.
Ini bukan kali pertama Labora berulah. Juga bukan kali pertama pemerintah dibuat tampak tidak berwibawa di hadapannya. Mari kita tengok ke belakang.
Awal mula kasus
Kasus Labora mulai mengemuka pada Mei 2013, tiga tahun lalu. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapati transaksi perbankan mencurigakan mencapai Rp 1,5 triliun dari rekening seorang polisi berpangkat aiptu di Papua. Laporan tersebut merupakan akumulasi transaksi keuangan dari 2007 sampai 2012 yang melibatkan 60 rekening.
Labora sudah 27 tahun bertugas di wilayah Papua. Anggota Polres Raja Ampat itu merupakan bintara senior.
Kalau kita berpikir lempeng, pastilah aneh jika jajaran Polda Papua mengaku tidak tahu sepak terjang Labora. Jadi, lebih rasional untuk tidak berpikir lempeng soal kelindan kepentingan Labora dan sejumlah oknum aparatur negara yang menikmati keuntungan dari kantong Labora.
Sekitar setahun kemudian, Senin, 17 Februari 2014, Pengadilan Negeri Kelas II B Sorong, Papua Barat, menjatuhkan vonis dua tahun kepada Labora. Ia didakwa melakukan penimbunan BBM, pembalakan liar, dan pencucian uang. Dakwaan yang terakhir dinyatakan tidak terbukti.
Kejaksaan tidak terima dan menyatakan banding. Vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yang menuntut 15 tahun.
Sidang terbuka Pengadilan Tinggi Papua, 2 Mei 2014, memperberat hukuman Labora menjadi delapan tahun penjara. Pengadilan banding menyatakan bahwa Labora juga terbukti melakukan pencucian uang.
Tak lama setelah itu, Labora ditangkap pada 19 Mei 2013.
Giliran Labora tidak terima. Ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kejaksaan juga mengajukan permohonan yang sama.
Pada 17 September 2014, sidang majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar dengan hakim anggota Sri Murwahyuni dan Surya Jaya menolak permohonan Labora dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Labora divonis 15 tahun.
Ajaibnya, ketika vonis kasasi diputuskan, Labora tidak sedang berada di penjara. Ia berada di rumahnya. Labora melenggang keluar penjara sejak 17 Maret 2014. Labora meminta izin berobat ke luar hari itu dan tidak kembali.
Ajaibnya lagi, aparatur penegak hukum di Papua seolah tidak berdaya (atau pura-pura tidak berdaya) menghadapi Labora. Diketahui kemudian, Kalapas Sorong Isak Wanggai menandatangani surat pembebasan Labora pada 24 Agustus 2014.
Awal tahun 2015, beberapa bulan setelah putusan kasasi keluar, Jakarta baru sadar bahwa Labora tidak berada di penjara. Hampir setahun Labora bebas.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kemudian menyatakan bahwa surat bebas Labora tidak sah. Labora diburu. Tidak mudah mengeksekusi Labora. Ratusan karyawan perusahaannya melindungi.
Labora akhirnya berhasil ditangkap kembali pada Jumat, 20 Februari 2015. Sebanyak 720 personel gabungan Polri dan TNI menggeruduk rumah Labora. Ia ditangkap tanpa perlawanan.
Hari itu, Menteri Yasonna mengatakan bahwa pihaknya sudah mengantisipasi agar kejadian kaburnya Labora tidak kembali terulang.
"Kami sudah ingatkan staf jangan terjadi lagi hal seperti ini. Ini sangat memalukanlah," kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (20/2/2015). (Baca: Kata Menkumham, Sangat Memalukan jika Labora Kembali Keluar Lapas)
"Tamparan" kedua
Awal tahun ini, kejadian memalukan itu kembali terulang. Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan Dusak mengatakan, sejak Oktober 2015 Labora menetap di rumahnya dan menolak menjalani pidana. Ia keluar dari lapas dengan alasan yang sama, yaitu sakit.
Freddy Fakdawer, salah satu juru bicara Labora, mengungkapkan hal berbeda. Labora tak menjalani penahanan di penjara sejak Maret 2015. Artinya, setelah ditangkap pada 20 Februari 2015, ia kembali bebas sebulan kemudian.
Kesehatannya memang memburuk. Direktur Rumah Sakit Pertamina Kota Sorong dr Richard Senduk menyebutkan, Labora pernah dirawat sepekan di rumah sakit itu. Menurut Senduk, Labora menderita diabetes, hipertensi, dan gejala jantung.
Bahwa Labora sakit, layaklah ia mendapat pengobatan. Negara harus merawatnya. Namun, tidak kembali ke lembaga pemasyarakatan setelah perawatan adalah soal lain. Labora kembali berlindung di balik benteng hidup para karyawannya.
Lagi, ratusan anggota pasukan gabungan dari kepolisian dan TNI dikerahkan untuk menangkap Labora di lokasi yang sama, yaitu di rumahnya di daerah Tampak Garam, Sorong, Papua, Jumat (4/3/2016). Rencananya, Labora hendak dibawa ke LP Cipinang Jakarta.
Aparat gabungan kembali mendapat perlawanan sebelum akhirnya berhasil masuk ke rumah Labora. Lagi-lagi terjadi "keajaiban", Labora tidak ditemukan di rumahnya. Ia hilang, melarikan diri.
Yasonna berang. "Ke mana pun dia pergi, kami akan terus cari," kata dia.
Sungguh, tak ada yang istimewa dari pernyataan ini. Mencari Labora memang menjadi tugas dan tanggung jawab Yasonna. Yang istimewa adalah bahwa Labora kembali "menampar" Yasonna untuk kedua kalinya dan negara seolah tak berdaya.
Jakarta terbukti amat lemah mengontrol jaringan birokrasinya sendiri di Papua. Negara tak berdaya menghadapi jaringan Labora yang patut diduga bergelimang uang.
Ini bukan sekadar cerita seorang narapidana yang melarikan diri. Cerita soal Labora adalah cerita soal ketidakberdayaan pemerintah dan segenap jajarannya, terutama Kementerian Hukum dan HAM, berhadapan dengan pelaku kriminal berkantong tebal. Ini juga bukan cerita pertama. Ini cerita yang selalu berulang. Ingat Gayus, toh?
Kita mendorong pemerintah untuk segera menemukan Labora demi keadilan dan tegaknya kewibawaan negara.
Alasan Labora melarikan diri karena ia merasa dikorbankan dan tidak puas dengan proses pengadilan adalah alasan yang tidak bisa diterima. Sebagai mantan penegak hukum, Labora mestinya paham bahwa di negara hukum, segala persoalan diselesaikan melalui jalur hukum. Labora masih memiliki kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.