Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tamparan" Labora untuk Menteri Yasonna

Kompas.com - 07/03/2016, 06:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorHeru Margianto

KOMPAS.com — Labora Sitorus kembali membuat ulah. Mantan polisi berpangkat ajun inspektur satu (aiptu) tersebut tiba-tiba menghilang dari rumahnya di Sorong, Papua, saat hendak dijemput untuk dipindahkan ke LP Cipinang, Jakarta.

Saat menjemput Labora pada Jumat (4/3/2016) pukul 06.00 WIT, tim gabungan dari TNI, Polri, serta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mendapat perlawanan dari sejumlah orang yang berusaha melindungi Labora.

Pintu ke area tempat tinggal Labora ditutup dengan kendaraan besar seperti kontainer. Terang benderang sudah, rencana penjemputan itu bocor.

Ini bukan kali pertama Labora berulah. Juga bukan kali pertama pemerintah dibuat tampak tidak berwibawa di hadapannya. Mari kita tengok ke belakang.

Awal mula kasus

Kasus Labora mulai mengemuka pada Mei 2013, tiga tahun lalu. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mendapati transaksi perbankan mencurigakan mencapai Rp 1,5 triliun dari rekening seorang polisi berpangkat aiptu di Papua. Laporan tersebut merupakan akumulasi transaksi keuangan dari 2007 sampai 2012 yang melibatkan 60 rekening.

Labora sudah 27 tahun bertugas di wilayah Papua. Anggota Polres Raja Ampat itu merupakan bintara senior.

KOMPAS/FABIO M LOPES COSTA Labora Sitorus

Kalau kita berpikir lempeng, pastilah aneh jika jajaran Polda Papua mengaku tidak tahu sepak terjang Labora. Jadi, lebih rasional untuk tidak berpikir lempeng soal kelindan kepentingan Labora dan sejumlah oknum aparatur negara yang menikmati keuntungan dari kantong Labora.

Sekitar setahun kemudian, Senin, 17 Februari 2014, Pengadilan Negeri Kelas II B Sorong, Papua Barat, menjatuhkan vonis dua tahun kepada Labora. Ia didakwa melakukan penimbunan BBM, pembalakan liar, dan pencucian uang. Dakwaan yang terakhir dinyatakan tidak terbukti.

Kejaksaan tidak terima dan menyatakan banding. Vonis itu jauh dari tuntutan jaksa yang menuntut 15 tahun.

Sidang terbuka Pengadilan Tinggi Papua, 2 Mei 2014, memperberat hukuman Labora menjadi delapan tahun penjara. Pengadilan banding menyatakan bahwa Labora juga terbukti melakukan pencucian uang.

Tak lama setelah itu, Labora ditangkap pada 19 Mei 2013.

Giliran Labora tidak terima. Ia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Kejaksaan juga mengajukan permohonan yang sama.

Pada 17 September 2014, sidang majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar dengan hakim anggota Sri Murwahyuni dan Surya Jaya menolak permohonan Labora dan mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum. Labora divonis 15 tahun.

KOMPAS/ FABIO M LOPES COSTA Aparat keamanan tertahan di pintu masuk areal rumah Labora Sitorus di Tampa Garam, Kelurahan Rufei, Papua Barat, Jumat (20/2/2015). Proses eksekusi terhadap Labora sulit dilakukan karena ratusan karyawan perusahaan Labora menghalangi.

"Tamparan" pertama

Ajaibnya, ketika vonis kasasi diputuskan, Labora tidak sedang berada di penjara. Ia berada di rumahnya. Labora melenggang keluar penjara sejak 17 Maret 2014. Labora meminta izin berobat ke luar hari itu dan tidak kembali.

Ajaibnya lagi, aparatur penegak hukum di Papua seolah tidak berdaya (atau pura-pura tidak berdaya) menghadapi Labora. Diketahui kemudian, Kalapas Sorong Isak Wanggai menandatangani surat pembebasan Labora pada 24 Agustus 2014.

Awal tahun 2015, beberapa bulan setelah putusan kasasi keluar, Jakarta baru sadar bahwa Labora tidak berada di penjara. Hampir setahun Labora bebas.

Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly kemudian menyatakan bahwa surat bebas Labora tidak sah. Labora diburu. Tidak mudah mengeksekusi Labora. Ratusan karyawan perusahaannya melindungi.

Labora akhirnya berhasil ditangkap kembali pada Jumat, 20 Februari 2015. Sebanyak 720 personel gabungan Polri dan TNI menggeruduk rumah Labora. Ia ditangkap tanpa perlawanan.

Hari itu, Menteri Yasonna mengatakan bahwa pihaknya sudah mengantisipasi agar kejadian kaburnya Labora tidak kembali terulang.

"Kami sudah ingatkan staf jangan terjadi lagi hal seperti ini. Ini sangat memalukanlah," kata Yasonna di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (20/2/2015). (Baca: Kata Menkumham, Sangat Memalukan jika Labora Kembali Keluar Lapas)

"Tamparan" kedua

Awal tahun ini, kejadian memalukan itu kembali terulang. Direktur Jenderal Pemasyarakatan I Wayan Dusak mengatakan, sejak Oktober 2015 Labora menetap di rumahnya dan menolak menjalani pidana. Ia keluar dari lapas dengan alasan yang sama, yaitu sakit. 

Freddy Fakdawer, salah satu juru bicara Labora, mengungkapkan hal berbeda. Labora tak menjalani penahanan di penjara sejak Maret 2015. Artinya, setelah ditangkap pada 20 Februari 2015, ia kembali bebas sebulan kemudian.

Kesehatannya memang memburuk. Direktur Rumah Sakit Pertamina Kota Sorong dr Richard Senduk menyebutkan, Labora pernah dirawat sepekan di rumah sakit itu. Menurut Senduk, Labora menderita diabetes, hipertensi, dan gejala jantung.

Bahwa Labora sakit, layaklah ia mendapat pengobatan. Negara harus merawatnya. Namun, tidak kembali ke lembaga pemasyarakatan setelah perawatan adalah soal lain. Labora kembali berlindung di balik benteng hidup para karyawannya.

Lagi, ratusan anggota pasukan gabungan dari kepolisian dan TNI dikerahkan untuk menangkap Labora di lokasi yang sama, yaitu di rumahnya di daerah Tampak Garam, Sorong, Papua, Jumat (4/3/2016). Rencananya, Labora hendak dibawa ke LP Cipinang Jakarta.

Aparat gabungan kembali mendapat perlawanan sebelum akhirnya berhasil masuk ke rumah Labora. Lagi-lagi terjadi "keajaiban", Labora tidak ditemukan di rumahnya. Ia hilang, melarikan diri.

KOMPAS/Fabio Costa Ruang tahanan Ajun Inspektur Satu Labora Sitorus di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Sorong, Papua Barat, Rabu (4/2). Labora merupakan terpidana kasus pencucian uang serta kepemilikan kayu ilegal dan penimbun bahan bakar minyak yang divonis 15 tahun penjara pada 17 September 2014. Namun, ia telah berada di luar lapas sejak 24 Maret 2014.

Negara tidak boleh kalah

Yasonna berang. "Ke mana pun dia pergi, kami akan terus cari," kata dia.

Sungguh, tak ada yang istimewa dari pernyataan ini. Mencari Labora memang menjadi tugas dan tanggung jawab Yasonna. Yang istimewa adalah bahwa Labora kembali "menampar" Yasonna untuk kedua kalinya dan negara seolah tak berdaya.

Jakarta terbukti amat lemah mengontrol jaringan birokrasinya sendiri di Papua. Negara tak berdaya menghadapi jaringan Labora yang patut diduga bergelimang uang.

Ini bukan sekadar cerita seorang narapidana yang melarikan diri. Cerita soal Labora adalah cerita soal ketidakberdayaan pemerintah dan segenap jajarannya, terutama Kementerian Hukum dan HAM, berhadapan dengan pelaku kriminal berkantong tebal. Ini juga bukan cerita pertama. Ini cerita yang selalu berulang. Ingat Gayus, toh?

Kita mendorong pemerintah untuk segera menemukan Labora demi keadilan dan tegaknya kewibawaan negara.

Alasan Labora melarikan diri karena ia merasa dikorbankan dan tidak puas dengan proses pengadilan adalah alasan yang tidak bisa diterima. Sebagai mantan penegak hukum, Labora mestinya paham bahwa di negara hukum, segala persoalan diselesaikan melalui jalur hukum. Labora masih memiliki kesempatan untuk mengajukan peninjauan kembali.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kuasa Hukum Caleg Jawab 'Siap' Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Kuasa Hukum Caleg Jawab "Siap" Terus, Hakim MK: Kayak Latihan Tentara, Santai Saja...

Nasional
Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Heboh Brigadir RAT Jadi Pengawal Bos Tambang, Anggota DPR: Tak Mungkin Atasan Tidak Tahu, Kecuali...

Nasional
Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Geledah Setjen DPR dan Rumah Tersangka, KPK Amankan Dokumen Proyek hingga Data Transfer

Nasional
Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Ditegur MK Tak Serius Ikuti Sidang, KPU Mengaku Punya Banyak Agenda

Nasional
Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Korlantas Sebut Pelat Khusus “ZZ” Terhindar Ganjil-Genap Jika Dikawal

Nasional
Polri Bentuk 10 Satgas Pengamanan untuk World Water Forum Ke-10 di Bali

Polri Bentuk 10 Satgas Pengamanan untuk World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Nurul Ghufron Sengaja Absen Sidang Etik di Dewas KPK, Beralasan Sedang Gugat Aturan ke MA

Nurul Ghufron Sengaja Absen Sidang Etik di Dewas KPK, Beralasan Sedang Gugat Aturan ke MA

Nasional
Korlantas Polri Ungkap Jasa Pemalsuan Pelat Khusus “ZZ”, Tarifnya Rp 55-100 Juta

Korlantas Polri Ungkap Jasa Pemalsuan Pelat Khusus “ZZ”, Tarifnya Rp 55-100 Juta

Nasional
Absen di Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin, Surya Paloh: Terus Terang, Saya Enggak Tahu

Absen di Pembubaran Timnas Anies-Muhaimin, Surya Paloh: Terus Terang, Saya Enggak Tahu

Nasional
KPU Mulai Tetapkan Kursi DPRD, Parpol Sudah Bisa Berhitung Soal Pencalonan di Pilkada

KPU Mulai Tetapkan Kursi DPRD, Parpol Sudah Bisa Berhitung Soal Pencalonan di Pilkada

Nasional
PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

PKB Jajaki Pembentukan Koalisi untuk Tandingi Khofifah di Jatim

Nasional
PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

PKB Bilang Sudah Punya Figur untuk Tandingi Khofifah, Pastikan Bukan Cak Imin

Nasional
KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

KPK Sita Gedung Kantor DPD Nasdem Milik Bupati Nonaktif Labuhan Batu

Nasional
MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

MA Kuatkan Vonis 5 Tahun Penjara Angin Prayitno Aji

Nasional
Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Soal Jokowi Jadi Tembok Tebal antara Prabowo-Megawati, Sekjen PDI-P: Arah Politik Partai Ranah Ketua Umum

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com