Oleh: Yudi Latif
Di tengah mentalitas pecundang yang melumpuhkan prestasi bangsa di berbagai bidang, seorang musisi prodigy asal Bali, Joey Alexander, mengibarkan bendera Indonesia menjulang tinggi di belantika musik dunia.
Untuk pertama kali dalam sejarah Grammy Awards, bocah berusia 12 tahun dinominasikan dalam dua kategori untuk pencapaian yang luar biasa dalam kreativitas improvisasi musik jazz.
Bukan hanya itu, ia pun tampil di panggung utama Grammy Awards dan ditahbiskan sebagai simbol regenerasi musik dunia.
Joey tidak sendirian. Ada jutaan anak berbakat yang terus terpendam dalam lumpur waktu.
Tidak seberuntung Joey yang dapat menemukan ekosistem kreativitas, berkat perjumpaannya dengan berbagai musisi melalui pengembaraan studi musiknya dari Bali, Jakarta, hingga New York; bahan-bahan batu mulia Indonesia lainnya tetap teronggok di tempatnya tanpa wahana yang memungkinkan bisa digosok menjadi permata.
Kreativitas adalah segala tindakan, ide, atau produk yang mengubah domain budaya, atau yang mentransformasikan domain yang ada menjadi sesuatu yang baru.
Orang-orang berbakat hanya akan menjadi pribadi kreatif apabila menemukan ekosistem kreativitas yang dihasilkan oleh interaksi dari suatu sistem yang terdiri dari tiga elemen.
Pertama, domain simbolik (biasanya disebut budaya) yang berisi seperangkat aturan, prosedur, pengetahuan, dan informasi (meme) simbolik; sebagai titik tolak sekaligus titik ubah dari kreativitas.
Kedua, bidang pendukung meliputi segala orang, institusi, dan jaringan yang bertindak sebagai penjaga pintu (gatekeepers) yang mendukung, menyaring, dan memvalidasi setiap inovasi untuk bisa masuk dan membawa perubahan dalam domain budaya.
Penting dicatat bahwa suatu domain (budaya) tak bisa diubah tanpa dukungan (persetujuan) secara eksplisit atau implisit dari suatu bidang (field) yang bertanggung jawab atas hal itu.