Kesepakatan ini diambil karena mempertimbangkan masifnya penolakan publik terhadap rencana revisi UU tersebut.
Seusai rapat konsultasi dengan pimpinan DPR di Istana Merdeka, Senin (22/2/2016), Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa ia menghargai proses politik yang terjadi di DPR terkait revisi UU KPK.
Akan tetapi, dengan alasan perlunya sosialisasi kepada masyarakat, Jokowi menyatakan pembahasan revisi harus ditunda.
Dalam rapat konsultasi itu, Jokowi didampingi Menko Polhukam dan Menkumham.
Di era pemerintahan Jokowi, pembahasan revisi UU KPK telah dua kali ditunda.
Sebelumnya, Jokowi juga memutuskan menunda revisi UU KPK pada Oktober 2015. Alasannya, pemerintah ingin fokus pada penyusunan Rancangan APBN 2016.
Ditunda, tetapi tetap masuk prolegnas
Pimpinan DPR sepakat dengan keputusan Jokowi. Pembahasan revisi UU KPK ditunda, tetapi tidak dikeluarkan dari program legislasi nasional DPR RI.
"Penundaan ini kami sepakat agar mekanisme kenegaraan berjalan dengan baik," kata Ketua DPR, Ade Komarudin.
Setelah ini, pemerintah dan DPR akan bersama-sama mensosialisasikan rencana merevisi UU KPK.
Kedua pihak sama-sama mengklaim revisi ini dilakukan untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi.
Masa sosialisasi tidak ditentukan waktunya. Pemerintah ingin menciptakan dialog, khususnya dengan kelompok masyarakat yang menyuarakan penolakan terhadap revisi UU KPK.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menuturkan, publik keliru menilai rencana revisi UU KPK karena kesimpangsiuran informasi.
Ia menegaskan, tidak ada niat melemahkan KPK melalui revisi undang-undang.
"Ada salah tafsir, maka penjelasannya harus proporsional, tak seperti gelembung yang hiperbola," ungkap Yasonna.
Sementara, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Luhut Binsar Pandjaitan menilai, karena sejumlah informasi terkait substansi revisi.
Informasi itu di antaranya, terkait umur KPK akan dibatasi selama 12 tahun, KPK hanya berwenang menindak pada kasus dugaan korupsi di atas Rp 50 miliar, dan kewenangan penyadapan KPK harus dengan izin pengadilan.
Menurut Luhut, tidak ada substansi tersebut dalam revisi UU KPK.
Ia menegaskan, pembentukan dewan pengawas KPK juga dilakukan untuk mengaudit aktivitas penyadapan yang dilakukan KPK.
Luhut memastikan bahwa KPK tidak perlu meminta izin dewan pengawas saat akan melakukan penyadapan.
"Audit dilakukan setelah KPK melakukan penyadapan, post audit-lah," kata Luhut.
Menurut Luhut, keberadaan dewan pengawas diperlukan untuk memperkuat kinerja KPK. Penunjukan anggota dewan pengawas dilakukan oleh Presiden.
Terkait rencana memberikan kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) kepada KPK, kata Luhut, hal itu juga dilakukan untuk memperkuat penanganan kasus dugaan korupsi.
Kewenangan itu hanya dapat digunakan oleh lima komisioner KPK.
"Jadi kalau dia (tersangka) meninggal, kalau dia paralize, atau ada alat bukti baru yang ditemukan, dia (komisioner KPK) yang memberikan, bukan Presiden atau siapa," ujar Luhut.
Mantan Kepala Staf Kepresidenan itu, menuturkan, revisi UU KPK akan dibahas kembali saat sosialisasi dianggap cukup meningkatkan pemahaman publik.
Diapresiasi KPK
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo menyambut baik penundaan pembahasan revisi UU KPK.
Ia menyarankan agar revisi tersebut sebaiknya dilakukan saat indeks korupsi Indonesia sudah lebih baik.
"Kalau Bapak Presiden sudah menunda, harapan kami di DPR juga menunda sampai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) mencapai 50," kata Agus.
Menurut Agus, keputusan Presiden menunda revisi UU KPK adalah respons terhadap masukan dan saran yang disampaikan Pimpinan KPK dalam pertemuan di Istana Merdeka, pada Senin pagi.
Pimpinan KPK tidak meminta Presiden membatalkan rencana revisi undang-undang karena menyadari bahwa UU KPK belum sempurna.
Untuk itu, para Pimpinan KPK hanya meminta agar revisi tidak memuat substansi yang justru menghambat kerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
Misalnya, pengaturan soal penyadapan dan pembentukan dewan pengawas dengan kewenangan menentukan izin penyadapan.
"Kita beri masukan sebaiknya yang direvisi jangan yang itu. Jadi, kalau tidak sama sekali itu juga tidak benar," ucap Agus.
Kini, pemerintah dan DPR dapat memanfaatkan waktu untuk mensosialisasikan substansi revisi UU KPK.
Yakinkan publik bahwa revisi UU KPK tidak akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi dan tidak ada "barter" kepentingan di dalamnya.
Jika niatnya menyempurnakan undang-undang untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi, maka tidak perlu ada lagi akselerasi di belakang layar.
Pemerintah dan DPR harus lebih terbuka. Indonesia masih darurat korupsi, maka jangan salahkan publik jika menyoroti semua kebijakan yang terindikasi melemahkan KPK.
Pemerintah dan DPR jangan lagi menjual "lagu lama" yang bisa menjadi bom waktu dan memicu kegaduhan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.