Pertanyaan ini belum terjawab. Sementara, proses pembahasan revisi UU KPK terus berjalan di DPR.
Ada atau tidak, bukti fisik naskah akademik tersebut belum diperoleh.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengaku belum pernah mendapatkan naskah akademik revisi UU KPK.
Menurut politisi Demokrat ini, sangat aneh jika naskah akademik belum didapatkan, sedangkan proses revisi terus bergulir.
(Baca: Ternyata, Anggota Baleg Belum Pernah Baca Naskah Akademik Revisi UU KPK)
Dia curiga belum ada naskah akademik yang disiapkan oleh pengusul.
"Kayaknya memang enggak ada naskah akademiknya," ujar Ruhut saat dihubungi Kompas.com, Kamis (11/2/2016).
Naskah akademik versi Oktober 2015
Ketua Badan Legislasi DPR Supratman mengaku mendapatkan naskah yang serupa dengan naskah akademik revisi UU KPK versi Oktober 2015.
Naskah tersebut juga masih memuat ketentuan lain selain yang akan direvisi saat ini, misalnya, mengenai pembatasan umur KPK yang hanya sampai 12 tahun.
"Jadi naskah akademiknya itu menyangkut banyak hal, tidak hanya empat poin yang akan direvisi itu," kata Politisi Partai Gerindra ini.
(Baca: Politisi PDI-P: Naskah Akademik Revisi UU KPK Tak Boleh Beredar di Publik)
Anggota Baleg dari Fraksi Gerindra Hashim Djojohadikusumo juga mengaku baru menerima naskah akademik versi bulan Oktober 2015.
Tak ada naskah akademik terbaru yang diserahkan oleh pengusul.
"Bagi saya ini sangat aneh, tetapi seperti yang kita ketahui kan Gerindra tidak setuju dengan revisi UU KPK ini," ujar dia.
Tak boleh beredar
Sementara, pengusul revisi UU KPK dari Fraksi PDI-P Ichsan Soelistyo dan Risa Mariska memastikan naskah akademik revisi UU KPK ada.
Akan tetapi, keduanya tak mau membeberkan isi naskah akademik tersebut ke publik.
"Enggak, enggak boleh beredar di publik," kata Ichsan.
Ichsan mengakui tak ada aturan yang melarang pengungkapan naskah akademik ke publik.
Namun, dia menilai, akan lebih baik jika naskah akademik itu menjadi konsumsi internal di DPR RI.
(Baca: Tanpa Naskah Akademik, Revisi UU KPK Cacat Hukum)
Ichsan pun mengaku tidak tahu mengenai sejumlah anggota Baleg yang mengaku belum menerima naskah akademik itu.
Yang jelas, kata dia, sebagai pengusul sudah menyerahkan naskah legislasi itu kepada Baleg DPR.
"Tanya aja sama Baleg, masa kita melayani satu-satu," ujar dia.
Wajib
Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa DPR wajib membuat naskah akademik sebelum pembahasan dan pembentukan undang-undang.
Naskah akademik berguna untuk melihat latar belakang, arah jangkauan, dan justifikasi ilmiah terhadap rencana sebuah undang-undang.
Oleh karena itu, jika memang benar dilakukan tanpa naskah akademik, revisi UU KPK seharusnya dibatalkan demi hukum, karena telah cacat dari aspek hukum formil maupun materiil.
"Tanpa naskah akademik, revisi UU KPK itu cacat," kata pengamat dari Pusat Studi Hukum dan kebijakan, Miko Ginting.
Tak jelasnya naskah akademik ini juga dinilai semakin menguatkan kecurigaan publik bahwa revisi UU KPK sebenarnya hanya bertujuan untuk melemahkan lembaga antirasuah tersebut.
Alasan bahwa revisi hendak menguatkan KPK hanya dalih semata.
"Sampai sejauh ini saya belum melihat ada naskah akademik. Jangan-jangan ini ada inisiatif entah dari siapa yang ingin melemahkan KPK," ujar Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.