JAKARTA, KOMPAS - Lima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi baru 40 hari menjabat saat Kejaksaan Negeri Bengkulu melimpahkan berkas perkara atas nama penyidik KPK, Novel Baswedan, ke Pengadilan Negeri Bengkulu, Jumat (29/1/2016). Di tengah skeptisisme publik setelah pelantikan, pelimpahan kasus Novel ini menjadi ujian bagi para komisioner KPK.
Sorotan ini yang sebenarnya ingin dihindari pimpinan KPK periode 2015-2020. Mereka tampaknya ingin bekerja tanpa harus diiringi kegaduhan. Boleh jadi hal itu pula yang membuat mayoritas pimpinan KPK periode ini lumayan irit bicara soal perkara di media massa. Beberapa wartawan yang meliput di KPK mengeluhkan hal ini kemudian membanding-bandingkan dengan pola komunikasi komisioner terdahulu KPK.
"Tidak boleh ribut-ribut," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam sebuah jumpa pers di KPK. Saat itu, ia tak bersedia menjawab dengan detail pertanyaan beberapa wartawan mengenai aktor yang berpotensi menjadi target penindakan di pelabuhan dalam konteks kerja sama KPK serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam mencegah kebocoran pendapatan negara akibat penyelundupan barang.
Strategi bekerja dalam "senyap" ini tak salah sepanjang tak diartikan sebagai menyimpan potensi kegaduhan di bawah karpet, menyimpannya rapat-rapat dari publik. Bisa dimaklumi jika bulan-bulan awal digunakan pimpinan KPK untuk membangun rasa percaya satu sama lain, konsolidasi internal, sekaligus memetakan persoalan dan menyusun strategi.
Apalagi, komisioner KPK periode ini hendak menyeimbangkan upaya pencegahan dengan penindakan. Strategi yang kongruen dengan latar belakang dan kapasitas mayoritas komisioner KPK saat ini. Latar belakang mereka relatif beragam, mulai dari intelijen, akademisi dan praktisi reformasi tata kelola pemerintahan, pengadaan barang dan jasa, pengawas keuangan, hingga penyidik Polri.
Upaya sebagian komisioner mengedepankan strategi pencegahan dalam konteks perang melawan korupsi yang terstruktur, sistemik, dan masif memang tak bisa disepelekan. Seperti disampaikan Hendi Yogi Prabowo dalam To be Corrupt or Not to be Corrupt: Understanding the Behavioral Side of Corruption in Indonesia (2014), pencegahan sangat strategis karena regenerasi para koruptor itu berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas penegak hukum memangkasnya.
Dalam konteks pencegahan itu, KPK juga memerlukan kerja sama dari berbagai instansi pemerintah, termasuk institusi penegak hukum lain. Maka, strategi tak "gaduh" itu masuk akal untuk membangun sinergi antarlembaga.