Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 11/02/2016, 15:11 WIB

JAKARTA, KOMPAS - Lima unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi baru 40 hari menjabat saat Kejaksaan Negeri Bengkulu melimpahkan berkas perkara atas nama penyidik KPK, Novel Baswedan, ke Pengadilan Negeri Bengkulu, Jumat (29/1/2016). Di tengah skeptisisme publik setelah pelantikan, pelimpahan kasus Novel ini menjadi ujian bagi para komisioner KPK.

Sorotan ini yang sebenarnya ingin dihindari pimpinan KPK periode 2015-2020. Mereka tampaknya ingin bekerja tanpa harus diiringi kegaduhan. Boleh jadi hal itu pula yang membuat mayoritas pimpinan KPK periode ini lumayan irit bicara soal perkara di media massa. Beberapa wartawan yang meliput di KPK mengeluhkan hal ini kemudian membanding-bandingkan dengan pola komunikasi komisioner terdahulu KPK.

"Tidak boleh ribut-ribut," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif dalam sebuah jumpa pers di KPK. Saat itu, ia tak bersedia menjawab dengan detail pertanyaan beberapa wartawan mengenai aktor yang berpotensi menjadi target penindakan di pelabuhan dalam konteks kerja sama KPK serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam mencegah kebocoran pendapatan negara akibat penyelundupan barang.

Strategi bekerja dalam "senyap" ini tak salah sepanjang tak diartikan sebagai menyimpan potensi kegaduhan di bawah karpet, menyimpannya rapat-rapat dari publik. Bisa dimaklumi jika bulan-bulan awal digunakan pimpinan KPK untuk membangun rasa percaya satu sama lain, konsolidasi internal, sekaligus memetakan persoalan dan menyusun strategi.

Apalagi, komisioner KPK periode ini hendak menyeimbangkan upaya pencegahan dengan penindakan. Strategi yang kongruen dengan latar belakang dan kapasitas mayoritas komisioner KPK saat ini. Latar belakang mereka relatif beragam, mulai dari intelijen, akademisi dan praktisi reformasi tata kelola pemerintahan, pengadaan barang dan jasa, pengawas keuangan, hingga penyidik Polri.

Upaya sebagian komisioner mengedepankan strategi pencegahan dalam konteks perang melawan korupsi yang terstruktur, sistemik, dan masif memang tak bisa disepelekan. Seperti disampaikan Hendi Yogi Prabowo dalam To be Corrupt or Not to be Corrupt: Understanding the Behavioral Side of Corruption in Indonesia (2014), pencegahan sangat strategis karena regenerasi para koruptor itu berlangsung jauh lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas penegak hukum memangkasnya.

Dalam konteks pencegahan itu, KPK juga memerlukan kerja sama dari berbagai instansi pemerintah, termasuk institusi penegak hukum lain. Maka, strategi tak "gaduh" itu masuk akal untuk membangun sinergi antarlembaga.

Ujian pertama

Pelimpahan berkas Novel Baswedan oleh Kejari Bengkulu ke PN Bengkulu menjadi ujian bagi strategi komisioner KPK itu. Di satu sisi, mereka hendak menghindari "kegaduhan" dengan instansi lain. Di sisi lain, mereka juga harus mampu menunjukkan komitmen mereka, baik di lingkungan internal KPK maupun kepada publik.

Tanpa kemampuan menunjukkan komitmen, skeptisisme publik terhadap komisioner KPK bisa berubah menjadi ketidakpercayaan. Apabila KPK tak dipercaya publik, gelombang dukungan dari masyarakat bakal menyurut. Para koruptor bakal bersiul-siul kegirangan karena mereka tinggal mendesain serangan pamungkas untuk merontokkan motor utama gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia itu.

Di mata publik, Novel Baswedan menjadi salah satu ikon KPK. Ia dinilai sebagai figur penyidik yang andal. Namun, akibatnya, ia "dikriminalkan". Novel dijerat pasal penganiayaan atas pencuri sarang burung walet saat ia menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Bengkulu tahun 2004. Kasus ini mencuat tahun 2012 saat Novel ikut menyidik korupsi di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dengan tersangka mantan Kepala Korlantas Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Kasus Novel sempat tenggelam setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan, Polri tak tepat menyidik Novel. Kasus ini timbul lagi seiring kegaduhan antara KPK dan Polri.

Dukungan masyarakat di dunia maya dan di ranah offline terhadap KPK selalu besar. "Serangan" terhadap KPK akan langsung dilawan netizen atau pengguna internet. Gerakan di dunia maya dengan mudah bertransformasi menjadi gerakan di ranah kopi darat. Masyarakat memahami persoalan ini dalam sudut pandang biner; hitam dan putih.

Sejak berkas Novel dilimpahkan ke PN Bengkulu, komisioner KPK mengambil sikap tegas, berada di belakang anak buahnya itu. Upaya agar kriminalisasi Novel tak berujung di pengadilan dilakukan komisioner KPK meski langkah mereka pun terkesan senyap, termasuk saat menjalin komunikasi dengan Jaksa Agung HM Prasetyo dan Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti.

Publik yang bereaksi atas kasus Novel juga direspons Istana. Presiden Joko Widodo memanggil Jaksa Agung dan Kapolri. Seusai pemanggilan terhadap dua petinggi penegak hukum itu, berkas Novel akhirnya dicabut kejaksaan dari PN Bengkulu. (Antony Lee)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Februari 2016, di halaman 5 dengan judul "Ujian Pertama Komisioner KPK".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Mempermainkan Hukum sebagai Senjata Politik

Mempermainkan Hukum sebagai Senjata Politik

Nasional
KPK Duga Korupsi Bansos Presiden Rugikan Negara Lebih dari Rp 50 Miliar

KPK Duga Korupsi Bansos Presiden Rugikan Negara Lebih dari Rp 50 Miliar

Nasional
Jadi Tersangka Korupsi, Eks Sestama Basarnas Mundur dari Kepala Baguna PDI-P

Jadi Tersangka Korupsi, Eks Sestama Basarnas Mundur dari Kepala Baguna PDI-P

Nasional
KY Prioritaskan Laporan KPK terhadap Majelis Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh

KY Prioritaskan Laporan KPK terhadap Majelis Hakim yang Bebaskan Gazalba Saleh

Nasional
PPATK Catat Perputaran Dana terkait Pemilu 2024 Senilai Rp 80,1 T

PPATK Catat Perputaran Dana terkait Pemilu 2024 Senilai Rp 80,1 T

Nasional
Anggota DPR Sebut PPATK Macan Ompong karena Laporan Tak Ditindaklanjuti Penegak Hukum

Anggota DPR Sebut PPATK Macan Ompong karena Laporan Tak Ditindaklanjuti Penegak Hukum

Nasional
KPK Sebut Kasus Bansos Presiden Terungkap Saat OTT Kemensos yang Seret Juliari

KPK Sebut Kasus Bansos Presiden Terungkap Saat OTT Kemensos yang Seret Juliari

Nasional
PDN Diretas, Ombudsman: Yang Produksi Ransomware Ini Harus Dicari dan Ditangkap

PDN Diretas, Ombudsman: Yang Produksi Ransomware Ini Harus Dicari dan Ditangkap

Nasional
KPK Duga Pengadaan Lahan di Rorotan oleh Perumda Sarana Jaya Rugikan Negara Rp 200 Miliar

KPK Duga Pengadaan Lahan di Rorotan oleh Perumda Sarana Jaya Rugikan Negara Rp 200 Miliar

Nasional
Kasus Rekayasa Jual Beli Emas Budi Said, Kejagung Periksa 3 Pegawai Pajak

Kasus Rekayasa Jual Beli Emas Budi Said, Kejagung Periksa 3 Pegawai Pajak

Nasional
Menko PMK Sebut Pinjamkan Nomor Rekening ke Pelaku Judi 'Online' Bisa Dipidana

Menko PMK Sebut Pinjamkan Nomor Rekening ke Pelaku Judi "Online" Bisa Dipidana

Nasional
Satgas Kantongi Identitas Pemain Judi Online, Bandar Belum Jadi Prioritas

Satgas Kantongi Identitas Pemain Judi Online, Bandar Belum Jadi Prioritas

Nasional
PKS Usung Anies-Sohibul Iman di Pilkada Jakarta, Tutup Peluang Cawagub dari Nasdem atau PDI-P?

PKS Usung Anies-Sohibul Iman di Pilkada Jakarta, Tutup Peluang Cawagub dari Nasdem atau PDI-P?

Nasional
Sudahi Manual, Waktunya Rekapitulasi Pemilu Elektronik

Sudahi Manual, Waktunya Rekapitulasi Pemilu Elektronik

Nasional
Menko PMK Minta Warga Waspadai Penyalahgunaan Rekening untuk Judi 'Online'

Menko PMK Minta Warga Waspadai Penyalahgunaan Rekening untuk Judi "Online"

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com