Jangka panjang dalam pembangunan nasional dapat menimbulkan mekanisme kejiwaan tertentu. Pada pihak pelaksana rencana pembangunan, timbul keinginan menikmati hasil pembangunan yang sedang berjalan, baik dengan jalan legal maupun ilegal, karena sadar bahwa hasil akhir pembangunan itu tidak akan pernah bisa mereka nikmati. Praktik yang umum ialah korupsi yang merugikan pembiayaan pembangunan jangka panjang, sekaligus membuat hasil pembangunan jangka panjang menyimpang dari yang direncanakan karena akumulasi modal hasil pembangunan sebagian telah dirampas di tengah jalan oleh para pelaksana pembangunan. Sebaliknya, pada pihak pemimpin pembangunan nasional, segala kesulitan yang muncul dari dinamika politik dan evolusi sosial, dan kekhasan budaya tiap daerah dan dapat menghambat pembangunan cenderung diatasi dengan cara represif untuk menyelamatkan jalannya pembangunan nasional. Pemimpin ingin pembangunan jangka panjang tak terhalang dan merasa perlu menerapkan kepemimpinan yang otoriter.
Dua keadaan itu sudah pernah kita alami selama Orde Baru. Gaya kepemimpinan Soeharto yang otoriter menjamin stabilitas politik dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, tapi sekaligus membatasi kebebasan demokratis dan mengekang partisipasi politik dalam banyak bidang. Janji bahwa hasil pembangunan akan menetes ke bawah atau mengalir ke pinggiran tak terpenuhi juga karena para elite mengambil hasil pembangunan buat diri mereka dan membuat akumulasi modal dari hasil pembangunan tak bisa menetes ke bawah atau mengalir ke pinggiran. Teori trickle down hanya dongeng modern dan harapan akan spill-over effect hanya tinggal fiksi teori pembangunan.
Keempat, pembangunan jangka panjang ibarat narasi besar tentang kinerja suatu bangsa. Ada bab-bab yang sudah ditulis, tetapi begitu banyak halaman yang masih harus direka apa yang menjadi isinya. Ada masa lampau dan ada masa depan. Yang lampau disimpan dalam ingatan; yang datang dikelola dalam imajinasi. Kita di Indonesia menghadapi dua kesulitan: ingatan sejarah kita rata-rata amat pendek dan lemah sekali, sementara imajinasi masa depan terperangkap dalam lamunan dan khayalan indah. Sebagai contoh, apakah gubernur, bupati, dan wali kota kita diwajibkan menulis dokumen serah jabatan dan dokumen terima jabatan sebagaimana amtenar Belanda dulu menulis memorie van overname ketika menerima jabatan dan memorie van overgave waktu menyerahkan jabatan? Sejarah ditulis sendiri oleh mereka yang membuat sejarah. Praktik seperti ini jarang dilakukan dengan baik sehingga atas cara itu kita meninggalkan sejarah dan sejarah juga meninggalkan kita.
Kelima, teori perencanaan dewasa ini amat menekankan pentingnya data dalam menyusun rencana. Rencana yang baik adalah evidence-based planning. Ada data mengenai ruang dan ada data mengenai waktu. Data tentang ruang terdapat dalam antropologi, sosiologi, geologi, ilmu ekonomi, politik, dan geografi. Data mengenai waktu ada dalam sejarah, baik sejarah alam maupun sejarah manusia yang terlaksana dalam sejarah ekonomi, sejarah politik, sejarah sosial, dan sejarah kebudayaan. Sejarah alam seperti sejarah gunung api adalah data tentang ruang yang terjadi tanpa intervensi manusia, sedangkan berbagai intervensi manusia dikaji dalam sejarah manusia.
Kalau rencana pembangunan nasional jangka panjang juga harus evidence-based, maka demikian banyak tugas yang harus dilakukan, demikian banyak informasi yang harus diketahui, dan demikian banyak waktu dan tenaga yang harus diinvestasikan. Namun, filsuf Friedrich Nietze mengajarkan bahwa ada dua kemampuan yang diperlukan dalam menghadapi sejarah: kemampuan mengingat dan kesanggupan melupakan. Tanpa ingatan, hidup tak terpikulkan karena segala sesuatu harus dipelajari dari awal dan dimulai kembali dari nol. Sebaliknya, tanpa melupakan, hidup juga terlalu berat oleh bertumpuknya beban ingatan yang menghalangi seseorang bergerak maju. Dalam kasus Indonesia, dan dalam soal Pembangunan Nasional Jangka Panjang, risiko kita adalah kecenderungan mengingat apa yang patut dilupakan, dan kebiasaan melupakan apa yang patut diingat.
Ignas Kleden
Sosiolog
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 Januari 2016, di halaman 6 dengan judul "Lorong Waktu Bernama GBHN".