Korban lain, Ajun Inspektur Satu Budiyono (43) yang dirawat di unit perawatan intensif RSPAD Gatot Soebroto, setelah ditembak pelaku teror di perut dari jarak dekat, sudah mulai pulih. Budi kini bersemangat untuk bertugas kembali sebagai provos. Istrinya, Rina (42), terus mendampingi Budi.
"Saya tidak sabar bertugas lagi. Doakan saya segera kembali ke lapangan," ujar Budi ketika dibesuk Kepala Polri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti, Kepala Polda Inspektur jenderal Tito Karnavian, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, dan Direktur Utama Asabri Adam R Damiri.
Badrodin mengapresiasi semangat Budi. Badrodin dan Khofifah pun memberikan bantuan kepada keluarga Budi.
Di tengah hiruk-pikuk pengejaran anggota jejaring teroris, nasib penyintas kerap terabaikan. Bantuan pemerintah kerap sebatas perawatan di rumah sakit. Padahal, penyintas butuh banyak hal, terutama pendampingan psikologis. Belum lagi keluarga korban yang kehilangan tulang punggung keluarga, seperti Rais Karna, pesuruh Bank Bangkok, yang meninggal ditembak teroris di kepala.
Sucipto Hari Wibowo dari Yayasan Penyintas Indonesia mengungkapkan, dirinya yang jadi korban bom Kedutaan Besar Australia pada 2004 memperoleh bantuan dari Kedubes Australia. Dari pemerintah, bantuan baru akan diupayakan melalui pertemuan dengan pihak polda sesuai aturan Undang-Undang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Sementara untuk korban bom Bali pada 2002, korban baru mendapat akses kartu sehat setelah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang LPSK diperbarui pada 2014. Saat ini, ada sekitar 600 korban terorisme dari bom Bali hingga JW Marriott-Ritz Carlton.
"Dari pemerintah memang kurang maksimal penanganannya. Revisi UU LPSK sudah cukup membantu, tapi tetap butuh banyak yang harus disempurnakan, seperti pasca pengobatan perlu dicermati dan pendampingan psikologis," ujar Sucipto.
Menteri Sosial pun berjanji mengupayakan pendampingan psikologis bagi penyintas.
Bagaimanapun, pemerintah tidak boleh mengabaikan kewajibannya dalam melindungi korban penyintas ledakan bom. Tidak apa terlambat, daripada tidak berbuat selama sekali. (Riana A Ibrahim)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Januari 2016, di halaman 5 dengan judul "Saat Penyintas Butuh Perlindungan Pemerintah".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.