Mungkin dalam konteks kewaspadaan di atas, Saldi Isra (Kompas, 12/1/2016) mencatat bahwa amandemen terbatas, walau dimungkinkan, tetap saja memerlukan kehati-hatian. Mahaguru tersebut tidak keliru. Bak sebuah perumpamaan, langkah tersebut bagai meniti bibir tebing yang curam. Memang tidak mudah mencegah, atau memagari, apalagi melarang dan menjamin bahwa pihak yang mendukung usul tersebut tidak menyertakan kebutuhan dan kepentingannya. Tidak mudah karena dari mula juga sudah memiliki kepentingan sendiri. Ide tentang amandemen terbatas, dalam kondisi banyaknya pandangan, kebutuhan, dan kepentingan yang berbeda, tidak mudah dielakkan menjadi ajang tawar-menawar politik, dan karena itu bisa-bisa malah menebar kerawanan. Yang semula dirancang terbatas akhirnya menjadi tidak terbatas.
Beberapa gambaran dapat disajikan untuk melukiskan tidak akan sederhananya langkah amandemen terbatas dalam upaya menghadirkan kembali GBHN itu. Di samping kemungkinan "kalau satu masuk, yang lain juga ikut masuk", perlu disimak apakah benar-benar cukup kalau hanya sekadar memasukkan ketentuan mengenai GBHN? Mampukah langkah itu memberikan kepastian bahwa hal itu tak akan merembet pada kebutuhan penyesuaian kedudukan, fungsi dan kewenangan MPR? Dapatkah ide amandemen terbatas tadi memberi kepastian bahwa hal itu tak akan memerlukan konsep pengaturan ulang sekitar hubungan tata kerja di antara lembaga negara? Kalau semua pertanyaan tersebut tak memperoleh jawab, tampaknya itu pula yang melandasi pandangan bahwa amandemen terbatas bukanlah soal sederhana, dan mungkin sulit terwujud.
Filosofi dan tujuan bernegara
Terkait dengan soal GBHN itu sendiri, baik juga kalau direnungkan kembali segala rembuk para pendiri negara ini sewaktu merancang UUD tadi (Catatan: Sekretariat Negara RI telah membukukan Risalah Sidang BPUPKI–PPKI 25 Mei 1945–22 Agustus 1945, dan menerbitkannya 1995). Meski disertai debat yang keras, para pemimpin merancang dengan terlebih dahulu bersepakat membangun pola pikir yang sama. Mereka sepakat berpegang pada bangun negara berdasar desain yang lengkap dari dasar, tujuan hingga konsistensi dalam penjabarannya dalam batang tubuh UUD. Dalam pikiran dan konsep mereka pula, GBHN diciptakan sebagai perangkat guna menuntun penyelenggara pemerintahan negara dalam upaya mewujudkan tujuan bernegara. Sebagai kaidah penuntun, GBHN karena itu ditetapkan oleh lembaga (MPR) yang dahulu mereka bayangkan sebagai "penjelmaan rakyat, pengemban kedaulatan rakyat". Dalam konteks pola pikir yang disiplin itu, para pemimpin dahulu membangun nalar dan filosofi GBHN secara runut.