Seakan mendahului kemungkinan pertanyaan atau keraguan, perumus Rakernas PDI-P dengan cepat menyatakan, kerangka dan landasan hukum bagi keberadaan GBHN akan diperjuangkan melalui amandemen terbatas UUD. Artinya, secara teknis hanya perlu mengubah pasal dalam UUD yang dianggap pas guna mewadahi keberadaan GBHN. Mungkin, maksudnya memasukkan rumusan ke dalam pasal yang dahulu mengatur kelembagaan dengan kewenangan menetapkan GBHN.
Mampukah partai pengusung ide itu mewujudkan pikirannya? Pertanyaan bernada keraguan tak terelakkan karena pasti masih banyak yang ingat bagaimana kapasitas dan performa senyatanya para politisi partai bersangkutan di masa lalu. Saat menjadi pemenang dalam Pemilu 1999, kenyataannya tak mampu mengantarkan kadernya sebagai presiden. Dalam Pemilu 2014 pun, meski juga keluar sebagai pemenang, lagi-lagi tak lantas dapat menjadikan diri dan kelompoknya sebagai kekuatan untuk menginisiasi perubahan UU MD3 yang jelas-jelas "mengerjainya".
Menarik pula menyimak kembali beberapa pikiran/usulan serupa yang sudah hadir sejak rentetan amandemen UUD selesai. Layak disimak karena pikiran/usulan tadi besar kemungkinan dapat memengaruhi perwujudan ide itu. Pasti masih banyak yang ingat, beberapa tahun setelah rentetan amandemen, juga lantang disuarakan usul untuk kembali ke UUD 1945 seperti kondisi sebelum diubah.
DPD juga pernah usul dilakukannya amandemen UUD (bahkan hingga kini masih disuarakan DPD), untuk memberikan kewenangan lebih dari yang dimilikinya sekarang. Mungkin masih banyak yang ingat pandangan yang malah menginginkan perubahan total UUD mengingat dampak yang dinilai buruk dalam praktik pengelolaan negara pasca rentetan amandemen. Namun juga perlu diingat, ada pula pandangan yang justru menolak perubahan apa pun. Sikap itu datang dari kelompok yang merasa bahwa kepentingannya telah terakomodasi melalui rentetan empat kali perubahan UUD 1945. Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas, dalam konvensi nasional yang diadakan Maret 2007, telah mengidentifikasi dan menginventarisasi berbagai gejolak pikir tersebut. Mereka bahkan merangkumnya melalui sebuah konvensi dan menjadikannya sebuah ”rangsangan pikir” dengan judul ”Apa Ada yang Salah dalam Perubahan UUD 1945”. Di dalamnya juga tercakup problema yang timbul dari ketiadaan GHBN tadi.