Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejumlah Anggota MKD Sepakat Novanto Tak Bisa Lagi Dihukum Ringan

Kompas.com - 16/12/2015, 08:31 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Sejumlah anggota Mahkamah Kehormatan Dewan sepakat bahwa Ketua DPR Setya Novanto tidak bisa lagi diberi sanksi ringan dalam perkara pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden.

Pendapat itu muncul karena Novanto sudah pernah dinyatakan melanggar kode etik kategori ringan dan mendapat sanksi teguran lisan karena kehadirannya di kampanye bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump.

Ketua MKD Surahman Hidayat mengatakan, jika Novanto terbukti bersalah dalam kasus kali ini, sanksi yang diberikan akan bersifat akumulatif.

Ketentuan akumulasi ini diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kode Etik, tepatnya pada Bab IV Pasal 19 ayat (3) huruf b.

Dalam aturan itu disebutkan, kriteria pelanggaran sedang adalah ketika seorang anggota DPR mengulangi perbuatannya yang telah dikenai sanksi ringan oleh MKD.

"Tentu saja memakai pendekatan akumulatif, ada salah, diakumulasikan," kata Surahman di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/12/2015).

Wakil Ketua MKD Junimart Girsang mengatakan, jika terbukti bersalah, Novanto minimal mendapat sanksi kategori sedang, yakni pencopotan dari jabatannya sebagai Wakil Ketua DPR.

Namun, bisa juga dia dikenakan sanksi berat, yakni skors tiga bulan atau diberhentikan dari keanggotaan DPR. "Tidak boleh dua kali pelanggaran ringan," ucap Junimart.

Anggota MKD, Supratman Andi Agtas, mengatakan, saat ini masih ada perbedaan tafsir terhadap frasa "mengulangi perbuatannya".

Sebagian menganggap frasa tersebut harus diartikan dengan melakukan tindakan yang persis sama. Namun, dia sendiri berpandangan, frasa itu bisa juga diartikan melakukan pelanggaran dalam bentuk apa pun meski tak sama persis dari yang sebelumnya.

"Jadi, kalau beliau dalam posisi dinyatakan bersalah, logikanya pasti tidak mungkin lagi sanksi ringan, pasti akumulasinya," ucap Supratman.

Anggota MKD lain, M Prakosa, juga menganggap aturan akumulasi bisa diterapkan meskipun menghadiri kampanye Donald Trump dan mencatut nama Presiden adalah dua hal yang berbeda.

"Analoginya seseorang yang pernah dapat kasus sanksi ringan, kemudian ada pelanggaran lagi di kasus ringan, itu menjadi tidak ringan walaupun konteksnya berbeda," ucap Prakosa.

MKD akan membacakan putusan kasus Novanto pada sidang hari ini.

Dalam kasus ini, Novanto diduga dibantu pengusaha minyak Riza Chalid saat meminta 20 persen saham Freeport kepada Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin dengan mencatut nama Presiden Jokowi-JK.

Rekaman pertemuan 8 Juni 2015 yang diambil oleh Maroef itu sudah dijadikan alat bukti dan dua kali diperdengarkan dalam sidang MKD.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Demo Tolak Revisi UU Polri, Aliansi Masyarakat Sipil: Kekuasaan Polisi Bakal Melebihi Presiden

Demo Tolak Revisi UU Polri, Aliansi Masyarakat Sipil: Kekuasaan Polisi Bakal Melebihi Presiden

Nasional
Yakin Partai Lain Tertarik Usung Anies-Sohibul, PKS: Siapa yang Enggak Mau Aman?

Yakin Partai Lain Tertarik Usung Anies-Sohibul, PKS: Siapa yang Enggak Mau Aman?

Nasional
Sejumlah Nama yang Disiapkan PDI-P untuk Pilkada: Risma-Azwar Anas di Jatim, Andika Perkasa di Jateng

Sejumlah Nama yang Disiapkan PDI-P untuk Pilkada: Risma-Azwar Anas di Jatim, Andika Perkasa di Jateng

Nasional
PKS Enggan Tawarkan Partai KIM untuk Usung Anies-Sohibul, tetapi Berbeda dengan PDI-P

PKS Enggan Tawarkan Partai KIM untuk Usung Anies-Sohibul, tetapi Berbeda dengan PDI-P

Nasional
Soal Tawaran Kursi Cawagub Pilkada Jakarta oleh KIM, PKS: Beri Manfaat atau Jebakan?

Soal Tawaran Kursi Cawagub Pilkada Jakarta oleh KIM, PKS: Beri Manfaat atau Jebakan?

Nasional
Yakin Tak Ditinggal Partai Setelah Usung Anies-Sohibul, PKS: Siapa yang Elektabilitasnya Paling Tinggi?

Yakin Tak Ditinggal Partai Setelah Usung Anies-Sohibul, PKS: Siapa yang Elektabilitasnya Paling Tinggi?

Nasional
PKS Ungkap Surya Paloh Berikan Sinyal Dukungan Anies-Sohibul untuk Pilkada Jakarta

PKS Ungkap Surya Paloh Berikan Sinyal Dukungan Anies-Sohibul untuk Pilkada Jakarta

Nasional
Soal Jokowi Tawarkan Kaesang ke Parpol, Sekjen PDI-P: Replikasi Pilpres

Soal Jokowi Tawarkan Kaesang ke Parpol, Sekjen PDI-P: Replikasi Pilpres

Nasional
KPK Segera Buka Data Caleg Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan

KPK Segera Buka Data Caleg Tak Patuh Lapor Harta Kekayaan

Nasional
KPK Kembali Minta Bantuan Masyarakat soal Buronan Harun Masiku

KPK Kembali Minta Bantuan Masyarakat soal Buronan Harun Masiku

Nasional
[POPULER NASIONAL] PDI-P Bantah Hasto Menghilang | Kominfo Tak Respons Permintaan 'Back Up' Data Imigrasi

[POPULER NASIONAL] PDI-P Bantah Hasto Menghilang | Kominfo Tak Respons Permintaan "Back Up" Data Imigrasi

Nasional
Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 2 Juli 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Anggota DPR: PDN Itu Seperti Brankas Berisi Emas dan Berlian, Obyek Vital

Nasional
Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Kuasa Hukum Sebut Staf Hasto Minta Perlindungan ke LPSK karena Merasa Dijebak KPK

Nasional
Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Kuasa Hukum Bantah Hasto Menghilang Setelah Diperiksa KPK

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com