Di lingkungan bisnis, angin perubahan berembus sangat kencang. Sepuluh tahun lalu, Nokia adalah pemimpin pasar telepon seluler. Perusahaan kebanggaan rakyat Finlandia ini pada September 2013 diakuisisi Microsoft dengan nilai 7,2 miliar dollar AS. Rajiv Suri, CEO Nokia, menyatakan Nokia tidak melakukan kesalahan, tetapi dunia berubah terlalu cepat dan Nokia terlena dengan keberhasilannya.
Rakyat Jepang bersedih karena Sony, raksasa elektronik Jepang, baru saja diakuisisi Samsung dari Korea Selatan. Sony sudah menjadi raksasa ketika Samsung memulai bisnisnya.
Samsung pada 2014 membukukan keuntungan Rp 200 triliun, sementara Sony merugi Rp 25 triliun. Pasar lebih memilih produk Samsung karena teknologi Sony terasa kuno dibandingkan Samsung.
Samsung mencapai prestasi itu karena termotivasi mengalahkan Sony. Untuk mengejar Sony, tema kerja di Samsung adalah "Ganti segalanya (cara pikir, cara kerja, dan lain-lain) kecuali istrimu".
Pendidikan karakter
Mentalitas suatu bangsa memang bisa diubah. Samsung adalah contoh keberhasilan Korea Selatan melakukan itu.
Dalam biografi Jenderal MacArthur seusai Perang Korea tahun 1950, disebutnya bahwa bangsa Korea tidak akan menjadi bangsa yang maju karena cirinya feodal, korup, dan bukan bangsa pekerja. Lelaki Korea idaman wanita Korea waktu itu adalah yang pakaiannya bersih, sepatunya mengilap, bukan tipe pekerja.
Namun, sejarah mencatat Korea Selatan sekarang menjadi bangsa sangat produktif. Perubahan terjadi terutama sejak era Presiden Park Chung-hee. Kerja yang sangat efisien tergambar di pabrik-pabrik seantero Korea Selatan dengan tema kerjanya "Triple Zero: zero waste, zero defect, zero lost" (bekerja tanpa limbah, tanpa kesalahan, dan tanpa pemborosan).
Sebagai suatu bangsa, nilai unggul yang ingin kita capai perlu jelas, antara lain beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa; mencintai Tanah Air, negara, bangsa, dan bahasa Indonesia; memiliki semangat juang yang tinggi, jujur, tabah, tegar, berani, dan bertanggung jawab; pekerja keras yang produktif dan efisien; berwawasan luas, bijaksana, saling menghormati, dan dapat bekerja sama dengan banyak pihak yang berbeda agama, ras, suku, dan pandangan politik; bersikap ksatria, kritis, dan konstruktif serta optimistis; setia, santun, rendah hati, dan memiliki tenggang rasa.
Membangun bangsa adalah proses tanpa akhir dari satu generasi ke generasi berikutnya dan setiap generasi bertanggung jawab membangun peradaban dan sistem yang lebih baik untuk diserahkan kepada dan diteruskan oleh generasi berikutnya. Pendidikan untuk mengubah karakter ini perlu terus dilaksanakan secara konsisten sejak taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi.
Bangsa Jepang adalah bangsa yang sangat sejahtera dan rendah hati, pekerja keras yang santun. Anak-anak Jepang membersihkan sekolah mereka setiap hariselama seperempat jam denganpara guru yang memunculkan generasiJepang yang sederhana, suka pada keberhasilan, dan peka pada lingkungannya. Menjaga kebersihan adalah bagian dari etika mereka. Siswa Jepang, dari SD kelas I hingga VI, diutamakan belajar etika yang berguna kelak ketika berinteraksi dengan orang lain di masyarakat. Sekolah di Jepang memang mengutamakan pembentukan karakter. Bangsa Jepang yang sangat makmur juga sangat efisien dan hemat. Di restoran Jepang, setelah selesai makan, piring sangat bersih, tak ada makanan tersisa. Ini diajarkan sejak anak-anak.
Sekolah memang tempat utama membentuk wawasan mengenai negara, bangsa, dan masyarakat. Tugas guru di sekolah bukan hanya mengajarkan siswa tentang ilmu pengetahuan dan keterampilan, melainkan juga mendidik dan membentuk kepribadian, karakter, integritas, moral, dan etika siswa sebagai orang Indonesia. Thomas Jefferson menyatakan, "Built Nation Built School." Penugasan kepada guru di sekolah sejak TK sampai dosen di perguruan tinggi untuk membentuk sifat-sifat unggul bangsa kita adalah tepat karena guru dibekali ilmu pedagogi yang akan lebih mampu mengubah dan memotivasi anak didiknya.
Pelajar dan mahasiswa berada pada usia pembentukan wataknya. Penulis pada usia 73 tahun ini masih merasakan kuatnya kesan ketika menjadi siswa SMP (sekarang SLTP) kelas I tahun 1955; 60 tahun lalu ketika berdarmawisata di Candi Borobudur. Guru Aljabar (sekarang Matematika), di hadapan sekitar 50 siswa, mengatakan, "Candi besar ini dibangun pada abad ke-8 oleh Dinasti Syailendra dengan arsiteknya Gunadharma. Ini adalah candi umat Buddha dan, 100 tahun sebelumnya, beberapa ratus meter dari tempat ini telah berdiriCandi Mendut, candinya umat Hindu. Pada abad ke-17, di dekat sini berdiri masjid dan pada abad ke-18 tak jauh dari sini berdiri gereja. Ratusan tahun umat beragama masing-masing agama khusyuk di tempat peribadatannya masing-masing dengan damai."
Nilai toleransi dan saling menghormati itu didengar siswa, mengendap dalam hati, serta mewarnai caraberpikir dan bersikap. Penulis juga masih ingat ketika dosen favorit di Jurusan Sipil ITB, Prof DR Ir Rooseno, teman Bung Karno, mengawali kuliah pada 1963 dengan mengatakan, "Bapak kemarin bertemu Bung Karno. Beliau gusar karena harapannya agar perusahaan-perusahaan asing yang mengelola pertambangan kita mengolahnya di sini dan tidak menjadikan Indonesia sekadar eksportir bahan baku tidak mendapatkan tanggapan yang memadai. Dengan geram Bung Karno menyatakan: kalau putra-putri Indonesia belum mampu mengolah sendiri kekayaan alam tambang-tambang kita, biarkan tetap tersimpan di dalam bumi Ibu Pertiwi. Kita tunggu sampai anak cucu kita nanti mampu mengolahnya sendiri." Cerita Rooseno selama dua menit, 52 tahun yang lalu itu, mengendap kuat di dalam alam pikir mahasiswa Sipil ITB dan mewarnai sikap politik ideologi mahasiswa pendengarnya.
Kiranya negara perlu menugasi semua guru dan dosen agar, setiap kali mengajar ilmu yang menjadi tanggung jawabnya, menyisihkan waktu tiga menit untuk mendidik dengan menyampaikan contoh-contoh nilai kehidupan yang luhur, baik dari pengalamannya pribadi, keteladanan tokoh-tokoh, atau dari buku-buku. Pendidikan karakter, moral, etika, dan integritas oleh guru di sekolah sangat penting karena banyak orangtua murid keduanya bekerja dan di masyarakat luas terjadi tontonan yang tak edukatif oleh para elite. Semoga dalam waktu singkat masyarakat Indonesia bisa berubah seperti Korea Selatan dan termotivasi seperti Jepang.
Siswono Yudo Husodo
Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Universitas Pancasila
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 November 2015, di halaman 7 dengan judul "Guru, 'Sing Digugu lan Ditiru'".