Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu Tahun DPR, Menepis Wajah Buram Wakil Rakyat (2)

Kompas.com - 02/10/2015, 15:00 WIB

Kualitas legislasi

Tingkat produktivitas legislasi yang rendah tampaknya menjadi salah satu problem mendasar, belum lagi soal kualitas keberpihakannya pada kepentingan bangsa. Catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) menyebutkan, DPR belum pernah menyelesaikan program legislasi nasional (prolegnas) sesuai target. Lihat saja DPR periode 2004-2009 hanya mampu menyelesaikan 193 RUU (68 persen) dari 284 RUU yang masuk dalam daftar prolegnas.

Kecenderungan yang sama terjadi pada DPR periode 2009-2014. Dari 58 RUU prioritas yang masuk Prolegnas 2010, pada akhir tahun hanya 13 UU yang berhasil disahkan. Tahun 2011, DPR menghasilkan 24 UU dari 70 RUU yang masuk prolegnas. Sejak 2010-2014, UU yang berhasil diselesaikan tidak sampai separuh dari target RUU setiap tahunnya.

Produktivitas DPR yang rendah dalam membuat UU berbanding terbalik dengan anggaran yang dihabiskan. Indonesia Budget Center mencatat, tahun 2014 anggaran DPR Rp 2,37 triliun, meningkat dibandingkan dengan tahun 2013 yang Rp 2,2 triliun dan Rp 1,03 triliun pada 2010. Dalam kurun waktu lima tahun, DPR telah menghabiskan anggaran Rp 11,8 triliun (Kompas, 17/2/2014).

Dengan gambaran seperti itu, tak heran hasil jajak pendapat merekam opini publik berupa dominasi ketidakpuasan terhadap kinerja anggota DPR selama tiga periode.

Kondisi aras dan dinamika politik yang ada di tubuh institusi wakil rakyat tampaknya sangat berpengaruh pada kinerja dan keberpihakan DPR. Situasi yang masih terkonsolidasi antara kubu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih di DPR sepanjang tahun pertama tampaknya menjadi salah satu penghambat utama lancarnya pembahasan perundangan.

Namun, situasi kekakuan pandangan politik itu relatif mencair beberapa bulan terakhir, terutama setelah Partai Amanat Nasional bergabung menjadi partai pendukung pemerintah. Secara tidak langsung, hal ini menyiratkan dukungan politik yang meningkat bagi kubu KIH. Artinya, akan meningkatkan daya tawar politik di DPR sekaligus menjadi modal politik pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Isu korupsi

Satu faktor laten yang begitu kuat memengaruhi penilaian terhadap kinerja DPR sepanjang masa adalah kasus korupsi. Meski sebagian besar kasus yang menerpa anggota DPR merupakan kelanjutan dari kasus periode sebelumnya, itu tak mudah terhapus dari ingatan publik.

Dari berbagai jajak ataupun survei yang membandingkan tingkat bebas korupsi lembaga negara, DPR kerap menduduki peringkat tertinggi sebagai lembaga negara terkorup.

Dalam jajak menjelang pelantikan DPR periode 2014-2019, mayoritas responden (86 persen) menilai lembaga legislatif tidak hanya tak bebas, tetapi bahkan jadi bagian dari praktik korupsi. Laporan tahunan Komisi Pemberantasan Korupsi kian menegaskan "dalamnya" keterlibatan anggota Dewan dalam praktik korupsi. Dalam laporan tersebut terlihat, dalam rentang 2005-2014, anggota legislatif, baik pusat maupun daerah (DPRD), merupakan pelaku korupsi terbanyak setelah pejabat eselon I, II, dan III.

Dengan penilaian yang telanjur melekat, tak mudah bagi DPR untuk beranjak. Diperlukan langkah konkret dan berani secara institusi ataupun perorangan wakil rakyat untuk mengubah wajah mereka. Dari lembaga berwajah suram karena diterpa berbagai isu jadi lembaga yang peduli dengan nasib rakyat secara serius, serta sungguh-sungguh mempraktikkan tugasnya sebagai wakil rakyat. (Litbang Kompas)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Oktober 2015, di halaman 5 dengan judul "Menepis Wajah Buram Wakil Rakyat".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com