"Konsep mengenai HAM tidak dihafal, tetapi menjadi nilai yang terinternalisasi oleh siswa. Jadi, siswa mengenal, mempraktikkan nilai HAM sesuai dengan umurnya. Jadi, ada nilai dan pengetahuan. Kalau sejak kecil mereka terinternalisasi HAM dengan kuat, mereka tidak akan jadi pelanggar atau korban HAM," kata Salma.
Akademisi Universitas Brawijaya, Malang, yang juga penggiat HAM, Haris El Mahdi, mengatakan, modul itu merupakan sebuah gerakan membuka memori kolektif banyak orang melalui pendidikan. HAM, menurut Haris, adalah sesuatu yang elitis. Dengan dimasukkan ke dalam kurikulum, diharapkan HAM bisa diketahui oleh banyak orang sedini mungkin.
"Kalau bisa ada juga modul untuk anak-anak SD. Saya dulu punya saran, buatlah komik tentang HAM. Itu memudahkan orang memahami HAM. HAM seolah-olah penghilangan orang. Padahal, tidak seelite itu. Kita punya rumah, tetapi diterobos oleh orang, itu sudah melanggar HAM," ujarnya.
Menurut Haris, karena pembelajaran HAM selama ini terlalu elitis, ini tidak bisa membumi. Siswa masih mengalami kesulitan untuk mengonstruksikan konsep HAM.
Memang penting untuk terus menyuarakan dan menyadarkan tentang hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Agar HAM tidak lagi menjadi isu tingkatan elite, tetapi juga seluruh masyarakat awam. Rasanya, itu pula yang diinginkan Munir dan para pahlawan HAM lainnya. (WER)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2015, di halaman 3 dengan judul "Konsep HAM Masih Elitis".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.