JAKARTA, KOMPAS - "Ku bisa tenggelam di lautan; Aku bisa diracun di udara; Aku bisa terbunuh di trotoar jalan; tapi aku tak pernah mati; Tak akan berhenti." Itulah penggalan lirik grup musik indie Efek Rumah Kaca untuk Munir, aktivis hak asasi manusia. Meski ia telah pergi sejak 11 tahun lalu, semangatnya terus hidup dan tetap terpelihara hingga hari ini.
Adalah Museum Omah Munir, sebuah museum yang didirikan di rumah Munir di Kota Batu, Jawa Timur, sejak 8 Desember 2013 yang terus akan jadi penanda untuk merawat ingatan tentang perjuangan Munir. Di Omah Munir, problem-problem kemanusiaan lain yang belum terselesaikan pun didokumentasikan.
Tak hanya menolak lupa, Omah Munir pun aktif menyosialisasikan hak asasi manusia (HAM) ke berbagai kalangan, termasuk di antaranya kepada para generasi muda. Mereka mengadakan uji coba (piloting) simulasi pengayaan HAM pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) di sejumlah sekolah menengah pertama (SMP). Mereka membuat modul khusus HAM yang diluncurkan beberapa waktu lalu di Bogor, Jawa Barat, dan Malang, Jawa Timur.
"Menyenangkan," ujar Adristi Marsalma (14) dan Aneke Enggar (12), siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Batu, Jawa Timur, saat mengingat simulasi HAM yang diselenggarakan Omah Munir.
Menurut Adristi, metode belajar HAM oleh Omah Munir dilakukan sambil bermain (learning fun) sehingga tidak membuatnya bosan. Rasanya berbeda dengan belajar konvensional melalui buku dan penjelasan guru semata.
Selain siswa diajak mengenal dan mengamati HAM secara umum, modul itu juga menyuguhkan contoh korban pelanggaran HAM di Indonesia. Ada nama Munir Said Thalib, aktivis buruh Marsinah, dan Syafrudin (Udin), jurnalis harian Bernas, ketiganya meninggal akibat dibunuh dan kasusnya belum terungkap hingga sekarang.
"Kalau nama Munir sudah pernah dengar. Marsinah dan Udin (sebelum kegiatan piloting) belum pernah dengar," kata Adristi.
Tut Priyani, guru mata pelajaran PPKn SMP Negeri 1 Batu, mengatakan, keberadaan modul pengayaan membantu guru dan siswa dalam pembelajaran HAM. Metodenya menarik dan menyenangkan. Kedalaman materi dan aktivitasnya sesuai dengan kurikulum 2013. Alat bantu simulasi, seperti topeng Munir, Marsinah, dan Udin, serta kartu sejarah HAM dan bahan untuk drama, tersedia memadai.
"Langkah yang ada dalam modul sudah aplikatif dan mudah dilakukan," ujarnya.
Modul pengayaan PPKn setebal 30 halaman itu berisi empat pokok bahasan, yaitu pengenalan HAM; HAM, Pancasila, dan UUD 1945; HAM di Indonesia; dan HAM di sekitar kita.
Internalisasi nilai HAM
Direktur Omah Munir, Salma Safitri AR, mengatakan, apa yang dilakukan Omah Munir adalah memperkaya substansi materi tentang HAM yang telah diajarkan dalam kurikulum yang ada. Materi HAM di dalam kurikulum dianggap masih kurang dan modul yang dibuat oleh Omah Munir disampaikan dengan metode yang lebih menarik, fun learning.
"Konsep mengenai HAM tidak dihafal, tetapi menjadi nilai yang terinternalisasi oleh siswa. Jadi, siswa mengenal, mempraktikkan nilai HAM sesuai dengan umurnya. Jadi, ada nilai dan pengetahuan. Kalau sejak kecil mereka terinternalisasi HAM dengan kuat, mereka tidak akan jadi pelanggar atau korban HAM," kata Salma.
Akademisi Universitas Brawijaya, Malang, yang juga penggiat HAM, Haris El Mahdi, mengatakan, modul itu merupakan sebuah gerakan membuka memori kolektif banyak orang melalui pendidikan. HAM, menurut Haris, adalah sesuatu yang elitis. Dengan dimasukkan ke dalam kurikulum, diharapkan HAM bisa diketahui oleh banyak orang sedini mungkin.
"Kalau bisa ada juga modul untuk anak-anak SD. Saya dulu punya saran, buatlah komik tentang HAM. Itu memudahkan orang memahami HAM. HAM seolah-olah penghilangan orang. Padahal, tidak seelite itu. Kita punya rumah, tetapi diterobos oleh orang, itu sudah melanggar HAM," ujarnya.
Menurut Haris, karena pembelajaran HAM selama ini terlalu elitis, ini tidak bisa membumi. Siswa masih mengalami kesulitan untuk mengonstruksikan konsep HAM.
Memang penting untuk terus menyuarakan dan menyadarkan tentang hak-hak dasar yang dijamin konstitusi. Agar HAM tidak lagi menjadi isu tingkatan elite, tetapi juga seluruh masyarakat awam. Rasanya, itu pula yang diinginkan Munir dan para pahlawan HAM lainnya. (WER)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 September 2015, di halaman 3 dengan judul "Konsep HAM Masih Elitis".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.