Periode kepemimpinan Muhammadiyah dalam kurun 17 tahun reformasi mencerminkan kepemimpinan dari generasi produk penyerbukan silang antarbudaya-meminjam istilah yang dipopulerkan Eddie Lembong-yang sebenarnya menjadi tonggak kesadaran Muhammadiyah pada awal abad ke-20. Profil dan latar belakang kesarjanaan Amien Rais, Syafii Maarif, dan Din merepresentasikan generasi Muhammadiyah kosmopolitan di mana "Timur" dan "Barat" bertemu, bahkan menjadi bagian tak terpisahkan dari biografi sosio-intelektualnya. Adanya perbedaan karakter dan langgam kepemimpinan ketiganya merupakan sisi lain dari ketidaktunggalan ekspresi kosmopolitanisme itu sendiri.
Sejarawan UGM, Bambang Purwanto (2015), menyebut Muhammadiyah sebagai contoh produk persilangan budaya di dalam keberagaman yang melibatkan Islam, Jawa, Minangkabau, dan modernitas Barat. Menurutnya, proses pembentukan kesadaran dan identitas Muhammadiyah ini berlangsung dalam proses modernisasi masyarakat Indonesia abad ke-20. Muhammadiyah generasi awal merupakan produk modernisasi Islam dengan denyut kosmopolitanisme karena tumbuh dalam spektrum keragaman "bangsa-bangsa" yang menjadi cikal bakal Indonesia yang majemuk di kemudian hari. Di sinilah kosmopolitanisme, menurut Vertovec dan Cohen, termanifestasi dalam perilaku yang terbuka dan kompetensi yang unggul dalam interaksi lintas budaya.
Pasca Din
Muhammadiyah pasca Din akan menapaki jalan yang tidak mudah dengan cuaca kebangsaan yang tidak selalu bersahabat. Meminjam bahasa Syafii Maarif yang dipetiknya dari puisi Muhamad Iqbal, karakter kepemimpinan Muhammadiyah haruslah seperti rajawali, bukan burung pipit. Percaya diri, trengginas, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Muhammadiyah dituntut berperan lebih atraktif dan kritis ketika kekuasaan dan parpol-parpol terus-menerus mencederai nilai-nilai keadaban publik.
Tak diragukan lagi, ketiga figur di atas telah membesarkan tenda bangsa Muhammadiyah dalam semangat kosmopolitanisme Islam modernis. Keberhasilan Muhammadiyah menyiasati ketegangan antara dimensi pemurnian dalam ranah tauhid dan pembaruan dalam ranah sosial-kebudayaan merupakan pembeda dirinya dengan gerakan-gerakan pemurnian lainnya. Organisasi yang kini berusia 103 tahun ini membutuhkan pelanjut kepemimpinan kolektif yang tidak hanya mampu merawat kultur keterbukaan, akan juga memiliki kepekaan inovasi dalam mentransformasikan prinsip-prinsip dakwah amar makruf nahi mungkar.
Model Muhammadiyah kosmopolitan memaknai cakupan dan ruang aktualisasi dakwah lebih kontekstual. Model kepemimpinan ini tidak akan menyeret Muhammadiyah memasuki gang-gang sempit, bahkan jalan buntu. Sejak awal, Muhammadiyah sudah menggariskan bahwa berdakwah haruslah memajukan dan menggembirakan, seperti terbaca dalam anggaran dasar tahun 1914. Inti Islam sejati menurut Ahmad Dahlan, seperti ditulis Munir Mulkhan dalam Marhaenis Muhammadiyah (2010), adalah akal dan hati suci sehingga perbedaan kelompok dan bangsa tidak menjadi tembok penghalang melakukan solidaritas memerdekakan manusia dari penderitaan.