JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Konstitusi menolak permohonan pembubaran Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sebab, MK menilai keberadaan OJK tidak bertentangan dengan konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar 1945.
"Meski tidak diperintahkan oleh UUD 1945, hal tersebut tidak serta-merta pembentukan OJK adalah inkonstitusional karena pembentukan OJK atas perintah undang-undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang," kata anggota Majelis Hakim MK, Anwar Usman, saat membacakan pertimbangan Putusan Pengujian UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Selasa (4/8/2015).
Permohonan pembubaran OJK ini dimohonkan oleh beberapa aktivis yang tergabung dalam Tim Pembela Kedaulatan Ekonomi Bangsa yang menilai lembaga ini tidak memiliki landasan konstitusional karena hanya mendasarkan pada Pasal 34 ayat (1) UU BI sehingga bertentangan dengan UUD 1945.
Mahkamah mengatakan, terdapat lembaga lain yang pembentukannya didasarkan atas perintah undang-undang, tetapi memiliki constitutional importance, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002, Komnas HAM yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 1999, Komisi Penyiaran Indonesia yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang dibentuk berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 1999.
Anwar juga mengatakan, persoalan pengaturan dan pengawasan di bidang perekonomian dan sektor keuangan, baik yang bersifat macroprudential maupun microprudential dengan tujuan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi, yang semula disatukan dalam kewenangan bank sentral dan saat ini dilaksanakan oleh dua lembaga, BI dan OJK, merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang.
"Dengan demikian, pemisahan ataupun penggabungan kewenangan lembaga yang menyangkut macroprudential dan microprudential tersebut bukanlah merupakan persoalan konstitusionalitas," kata Anwar.
Pemohon yang terdiri dari Salamudin, Ahmad Suryono, dan Ahmad Irwandi Lubis ini menguji Pasal 1 angka 1, Pasal 5, Pasal 7, Pasal 34, Pasal 37, Pasal 55, Pasal 65, dan Pasal 66 UU OJK.
Atas permohonanan ini, MK hanya mengabulkan Pasal 1 angka 1, sedangkan permohonan pasal lainnya dinyatakan ditolak.
"Frasa 'dan bebas dari campur tangan pihak lain' yang mengikuti kata 'independen' dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," tutur Ketua Majelis Hakim Arief Hidayat saat membacakan amar putusan.
Bunyi lengkap Pasal 1 angka 1 UU OJK menjadi, "Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah lembaga yang independen, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini."
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto mengapresiasi putusan MK yang telah mengawal penegakan konstitusi.
"Keputusan siang hari ini merupakan bekal bagi kami untuk bekerja semakin baik dan tentunya pengembangan sektor jasa keuangan yang semakin baik, bukan hanya pekerjaan OJK sendiri," ujar Rahmat seusai mengikuti sidang putusan.
Menurut dia, pihaknya akan tetap membangun kerja sama dan koordinasi serta komunikasi, baik dengan pemerintah maupun otoritas yang lain, seperti BI dan Lembaga Penjamin Simpanan.
Terkait putusan MK yang menghapus frasa "dan bebas dari campur tangan pihak lain" dalam Pasal 1 angka 1, Rahmat mengatakan tidak masalah.
"Saya kira itu tidak masalah. Pertimbangannya memang benar. Istilah independen sudah menjelaskan tentang kemandirian OJK. Jadi, dengan tambahan frasa campur tangan pihak lain, saya rasa tidak diperlukan lagi," kata Rahmat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.