Dana dapil DPR dinilai justru akan merusak prinsip-prinsip keuangan negara. Komposisi 560 anggota DPR akan menyulitkan alokasi anggaran pembangunan secara adil dan proporsional. Padahal, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla justru tengah gencar memacu pembangunan di luar Jawa demi keadilan dan kesejahteraan rakyat yang merata.
Selain itu, tidak ada yang bisa memastikan program pembangunan dapil dapat direalisasikan secara fungsional, tepat sasaran, dan efektif. Hal yang tak kalah penting adalah apakah benar dana dapil bisa menjawab persoalan ketimpangan pembangunan di daerah?
Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan mengatakan, usulan dana dapil sudah diserahkan kepada Presiden Jokowi. Program tersebut diusulkan 291 anggota DPR yang berasal dari enam fraksi, yaitu Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Fraksi Partai Amanat Nasional, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan.
Pemerintah menolak
Meski belum memberikan jawaban resmi kepada DPR, pemerintah sudah menyatakan akan menolak usulan dana dapil. Alasannya, hal itu bisa mengganggu alokasi anggaran yang sudah disusun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.
Fraksi PDI-P meminta pemerintah konsisten menolak usulan program pembangunan dapil. Arif menegaskan, konsistensi itu harus ditunjukkan dengan tidak mengakomodasi usulan dana dapil dalam RAPBN 2016.
Apalagi, Taufik Kurniawan sudah menyatakan, DPR tak akan memaksa pemerintah mengabulkan usulan dana dapil. "Apakah usulan program pembangunan dapil itu diakomodasi atau tidak, itu domain pemerintah. Kami tak akan bertentangan dengan pemerintah," katanya.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo punya pandangan menarik. "Terkadang, penting bagi kita untuk menolong warga di daerah tertentu di dapil. Ada kalanya sebuah desa tidak dibangun hanya karena tidak pernah memilih bupati bersangkutan," ujarnya.
"Apa kita tidak kasihan? Ada satu desa diaspal, desa lain tidak diaspal," ujar Bambang. Dia menegaskan, bukan berarti tidak pernah berjuang sebelumnya. "Kita sudah teriak-teriak, tetapi tidak didengar. Jadi, UP2DP ini penting. Ini lebih jelas daripada DPR harus lobi-lobi tak jelas," ujar Bambang.
Sesungguhnya, ketika DPR menampilkan prestasi yang mengesankan, boleh jadi rakyat dengan ringan mengabulkan hadirnya dana dapil. Persoalannya, sudah minim prestasi, ada pula dugaan dana dapil digunakan untuk membiayai kerja politik.
Andai DPR menginisiasi produk hukum tertentu guna mengatur dirinya sendiri terkait dana dapil, mungkin rakyat mau merestui. Produk hukum seperti apa? Misalnya, ketika kontraktor pelaksana program dana dapil ternyata mengorupsi program, yang katanya demi rakyat dapil, anggota DPR yang mengusulkan program itu dapat ikut dibui.
Kini, parlemen mulai reses. Inilah saatnya kita semua berhenti dan merenungkan dalam- dalam. Apakah sikap DPR berkukuh mengajukan dana dapil adalah langkah benar dalam membangun Indonesia yang adil dan beradab? Kita lihat saja. (HARYO DAMARDONO/ ANITA YOSSIHARA)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Juli 2015, di halaman 4 dengan judul "Berebut Membangun Dapil...".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.