JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli hukum pidana Yahya Harahap mengatakan, ada perbedaan mendasar di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Perbedaan itu terutama dalam hal penetapan seseorang sebagai tersangka.
"Kalau di KUHAP yang berfungsi mencari dan menemukan alat bukti untuk menetapkan tersangka adalah pejabat penyidik. Sedangkan kalau di KPK adalah pejabat penyelidik," kata Yahya di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (6/4/2015).
Yahya dihadirkan sebagai saksi ahli oleh KPK dalam sidang lanjutan praperadilan mantan Menteri Agama Suryadharma Ali.
Yahya menambahkan, ketika pejabat penyelidik menemukan dua alat bukti saat penyelidikan, maka alat bukti itu harus diserahkan kepada KPK. Nantinya, KPK lah yang berhak menentukan kelanjutan kasus dan penetapan tersangka.
"Yang berwenang menentukan itu adalah KPK. Dia juga berwenang untuk melimpahkan ke kejaksaan atau kepolisian, untuk melanjutkan atau menghentikan perkara," ujarnya.
Wewenang ini memang diatur dalam Pasal 44 ayat (4) di UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Aturan itu berbunyi:
"Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi berpendapat bahwa perkara tersebut diteruskan, Komisi Pemberantasan Korupsi melaksanakan penyidikan sendiri atau dapat melimpahkan perkara tersebut kepada penyidik kepolisian atau kejaksaan."
Suryadharma Ali mengajukan gugatan praperadilan atas penetapan status tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji di Kementerian Agama tahun 2010-2013.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.