Namun, cara manaikkannya tidak bisa langsung 30 persen, tetapi bertahap: 2015 (5 persen), 2016 (10 persen), 2017 (15 persen), 2018 (20 persen), dan 2019 (30 persen). Sepuluh partai yang memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2014 mestinya menerima Rp 13,2 miliar atau 1,32 persen kebutuhan partai, sebaiknya tahun 2015 ini dinaikkan menjadi Rp 66 miliar. Selanjutnya, 2016 (Rp 132 miliar), 2017 (Rp 198 miliar), 2018 (Rp 264 miliar), dan 2019 (Rp 398 miliar).
Kenaikan harus dilakukan bertahap demi menunggu kesiapan partai dalam mengelola dana, sekaligus melatih para pengurus partai untuk disiplin membuat laporan penggunaan dana sesuai tuntutan audit. Jika bantuan langsung dinaikkan 30 persen, partai tak hanya kesulitan mengelola, tetapi para pengurusnya juga bisa terjebak korupsi.
Ubah rumus
Untuk bisa menaikkan bantuan keuangan partai politik secara bertahap, PP No 5/2009 juncto PP No 83/2012 harus diubah. Sebab, PP inilah yang melahirkan formula sehingga menghasilkan nilai Rp 108 per suara. Formula yang terkesan sangat ”matematis” ini sebetulnya bermasalah, khususnya jika digunakan untuk menghitung bantuan partai dari APBD provinsi dan APBD kabupaten/kota.
Selain nilainya tidak merata (bergantung pada besaran sumbangan periode sebelumnya), juga tidak sesuai dengan postur APBD masing-masing daerah. Penetapan harga per suara lebih baik dikaitkan dengan satuan-satuan perhitungan ekonomi yang sudah lazim.
Di beberapa negara, penetapan harga suara menggunakan mekanisme upah minimal sebagai tolok ukur. Karena upah minimal itu bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah, maka harga suara juga bisa berubah setiap tahun dan berbeda di setiap daerah.
Misalnya ditetapkan harga suara adalah x persen dari upah minimal di daerah yang bersangkutan. Kalau suatu daerah upah minimalnya lebih tinggi dari daerah lain, biasanya anggaran daerah tersebut juga akan lebih besar dari anggaran daerah lain. Dengan demikian, harga suara setiap daerah berbeda-beda sesuai dengan besaran upah minimal yang juga mencerminkan besaran anggaran daerah masing-masing.
Didik Supriyanto
Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Kamis (19/3/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.