Tindakan "memihak" salah satu elemen negara pada 1980-an inilah yang memunculkan kaum konglomerat "pribumi", di mana Aburizal Bakrie menjadi tokoh paling menonjol. Tanpa Ginandjar, mungkin tak pernah ada konglomerat "pribumi". Sebab, pada 1974, Menteri Perdagangan Radius Prawiro, dikutip Robison, dengan tegas menyatakan bahwa negara tidak akan menolong pengusaha "pribumi" melalui fasilitas. "Attempts will be focused upon eliminating attitudes of dependence on facilities and stressing persistence in specific lines of business."
Namun, di dalam konteks politik, tindakan Ginandjar ini adalah "pemihakan ganda". Meski tak ada yang menyanggah bahwa mereka adalah "pribumi", tak ada juga yang menyanggah sebagian besar mereka adalah anggota Golkar. Inilah yang menentukan watak Golkar pasca-Orde Baru, yakni ketika kontrol negara melemah, kaum konglomerat reproduksinya, yang telah telanjur besar dan mengontrol kekayaan dengan otonom, memanfaatkan kekayaan itu untuk mengusai kekuasaan politik. Inilah yang terjadi di dalam Golkar di bawah Jusuf Kalla (2004-2009) dan Aburizal Bakrie (2009-2015) ketika kekayaan mendominasi partai itu.
Perkembangan ini tentu problematik terhadap Golkar dan dunia politik Indonesia. Politik berdasarkan pada kekayaan menciptakan kepemimpinan oligarki. Ini membuat Golkar mandek karena secara struktural rotasi kepemimpinan bergulir pada tokoh atau golongan yang sama dan menghalangi lahirnya pemimpin muda idealis dan reformis. Akibatnya, kualitas kader yang tereproduksikan jenis kepemimpinan ini hanya sekelas pengikut. Dan, yang terpenting, semua ini menghalangi transformasi orientasi ke arah partai didasarkan dukungan rakyat.
Inilah alasan struktural reformasi Golkar, yaitu keharusan membongkar kepemimpinan berdasarkan kekayaan guna memberikan jalan terciptanya partai didasarkan dukungan rakyat. Yang diperlukan untuk itu adalah sebuah peralihan kepemimpinan yang lebih otentik, reformis, dan demokratis. Otentisitas ini hanya terjadi jika pemimpin Golkar jatuh kepada kader-kader muda yang belum berkubu dan bergelimang efek destruktif politik berdasarkan kekayaan.
Apa arti reformasi Golkar ini bagi dunia politik Indonesia? Di sini kita harus mencermati sistem politik Indonesia pasca-Orde Baru hingga masa Jokowi dewasa ini, yaitu ketakseimbangan pola interaksi peran dan fungsi antara lembaga-lembaga eksekutif, kepresidenan (termasuk kabinet), dengan legislatif DPR dan DPD, serta yudikatif (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) dengan partai-partai politik. Ketakseimbangan ini terdapat pada fakta bahwa tanpa diisi kalangan yang direproduksikan partai-partai politik, lembaga eksekutif dan legislatif (terutama DPR) adalah "tempat kosong". Partai-partai politik, dengan demikian, adalah kekuatan riil politik yang kekuasaannya menyelusup ke dalam jantung wewenang negara. Meski Megawati atau Surya Paloh tak punya kekuasaan resmi dalam negara, sebagai "pemilik partai" (PDIP-P dan Nasdem), keduanya bisa mendesak presiden menempatkan orang pilihan dalam kabinet atau mengganti wakilnya di DPR.
Karena gugus kekuasaan di dalam sistem politik dewasa ini didominasi Golkar dan PDI-P, secara teoretis keputusan-keputusan resmi negara adalah cerminan ekspresi kehendak keduanya. Dalam konteks Golkar, dengan para pemilik modal yang dominan di dalamnya, maka saluran ekspresi kekuasaan ke dalam lembaga-lembaga itu bersifat capitalist-biased. Pada saat yang sama, dalam konteks PDIP, fakta bahwa presiden dan wakil presiden bukan dalam posisi "pemilik partai", melainkan hanya reproduksinya. Untuk itu, meminjam frasa Samuel Huntington, ambisi personal berpotensi memengaruhi tindakan resmi negara. Presiden dan wakilnya, di pihak lain, walau memegang wewenang eksekutif tertinggi pada esensinya lemah. Sebab, karena bukan "kepemilikan partai", keduanya adalah "minoritas" dalam "politik partai politik"—yaitu interaksi, kerja sama, dan persaingan antarpartai—maupun di dalam "politik parlemen".
Potensi gabungan ekspresi kekuasaan capitalist-biased dan ambisi personal ini langsung atau tidak akan memengaruhi kualitas program lembaga kepresidenan dalam melaksanakan tugasnya demi kepentingan rakyat banyak. Dalam konteks inilah peran Golkar yang telah "tereformasikan" dan telah bersifat partai politik berbasis rakyat menjadi strategis memimpin reformasi sistem dan dunia politik Indonesia secara keseluruhan. Slogan yang perlu berkembang: membenahi sistem politik Indonesia harus dimulai dari pembenahan Golkar.
Fachry Ali
Salah Satu Pendiri Lembaga Studi dan Pengembangan Etika Usaha (LSPEU Indonesia)