JAKARTA, KOMPAS.com - Tim kuasa hukum Komisi Pemberantasan Korupsi menghadirkan penyelidik aktif di KPK, Iguh Sipurba, dalam sidang praperadilan yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Kamis (12/2/2015).
Dalam keterangannya, Iguh menegaskan bahwa KPK memiliki bukti kuat terkait dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Budi Gunawan. Bukti tersebut antara lain dokumen, keterangan saksi, hingga Laporan Hasil Analisa Kekayaan Budi dari Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).
"Ada juga beberapa bukti yang tidak bisa disebutkan di sini," ujar Iguh saat bersaksi. Iguh satu-satunya saksi yang dihadirkan kuasa hukum KPK dalam persidangan hari ini.
Iguh menjelaskan, nama Budi Gunawan sudah muncul dan menjadi calon tersangka saat proses penyelidikan. Setelah cukup bukti, tim penyelidik membuat Laporan Hasil Penyelidikan (LHP). Kemudian digelar forum ekspos bersama struktural dan pimpinan KPK.
Saat itu juga, KPK meningkatkan status dari penyelidikan ke penyidikan dan menerbitkan surat perintah penyidikan (sprindik). KPK menaikkan status Budi menjadi tersangka.
"Banyak kasus sebelumnya tanggal LHP dengan terbitnya sprindik, itu di tanggal yang sama. Bukan aneh bagi kami di KPK," ujarnya.
Tim pengacara Budi Gunawan mempermasalahkan penetapan tersangka klien mereka oleh KPK. Mereka menuding penetapan tersangka itu tidak sesuai prosedur.
Tim pengacara Budi menganggap penetapan kliennya sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK merupakan bentuk intervensi terhadap keputusan Presiden. KPK telah melewati wewenangnya dalam pemilihan calon kepala Polri. Akibatnya, proses pelantikan Budi sebagai kepala Polri terhambat.
Sesuai dengan Pasal 38 ayat 1 dan Pasal 39 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tim pengacara mengatakan bahwa tugas dan wewenang KPK adalah penyelidikan dan penyidikan. Namun, dalam proses pemilihan kepala Polri, KPK menyalahgunakan tugas dan wewenangnya dengan bersikukuh ikut dalam proses tersebut.
Menurut pihak Budi, penetapan Budi sebagai tersangka ketika ia masih menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karier Polri tidaklah tepat. Alasannya, pada posisi jabatan tersebut, Budi bukan termasuk aparat penegak hukum sehingga penyelidikan atau penyidikan tak bisa dilakukan. Jabatan tersebut juga tak termasuk penyelenggara negara karena bukan bagian dari jabatan eselon I.
Penetapan tersangka Budi yang tanpa diawali pemanggilan dan permintaan keterangan secara resmi dianggap sebagai tindakan melanggar hukum. Menurut Pasal 5a UU Nomor 30 Tahun 2002, untuk menjunjung ketentuan hukum, dua proses tersebut harus dilakukan dalam penyelidikan dan penyidikan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.