Dunia pernah terpukau oleh pameran ideologi dalam partai-partai Indonesia pada dekade 50-an yang sepi dari konflik kepemimpinan internal partai.
Mereka sibuk merancang ideologi paling tepat bagi pembangunan negeri, bergotong royong menciptakan pemikir-pemikir macam Sjahrir atau Hatta.
Konflik yang terjadi pun pada gilirannya menjadi konflik bermutu tinggi, yaitu perdebatan tiada henti tentang gagasan-gagasan bernas, dari yang normatif dan mendasar, hingga yang paling konkret.
Politik, bagaimanapun, mendasarkan dirinya pada manusia, bukan institusi dan bukan struktur, sehingga memperjuangkan institusi dan mengeksklusikan manusia adalah sesat pikir.
Perpecahan yang terjadi akan membuat semua orang kembali meninjau arah dari partai, kesesuaian cita-cita, dan seterusnya. Andai tak sesuai, potensi perpecahan yang mulanya bisa dihitung menjadi menular dan menyebar hingga sukar dikalkulasi lagi risiko dan akibat-akibatnya.
Rendy Pahrun Wadipalapa
Pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya