JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan M Yusuf menilai, banyak transaksi tunai dalam jumlah besar yang masif dilakukan dan berpotensi memuat unsur korupsi. Oleh karena itu, pihaknya menyusun Rancangan Undang-undang Transaksi Tunai untuk membatasi jumlah transaksi yang dilakukan secara tunai.
"PPATK sedang buat RUU Transaksi Tunai. Ini sudah modus bagi para koruptor untuk tidak menyimpan uang di rekening pribadinya," ujar Yusuf di Jakarta, Selasa (26/11/2014) malam.
Yusuf mengatakan, para koruptor kini telah meninggalkan cara lama untuk mentransfer uang dalam jumlah banyak ke suatu rekening melalui instrumen perbankan. Dengan cara itu, kata Yusuf, transaksi mudah dilacak.
Yusuf menjelaskan, setidaknya ada dua modus untuk menyamarkan aliran dana dalam jumlah besar agar tidak terlacak. Selain dengan transaksi tunai, dana bisa dialirkan ke rekening lain milik perusahaan bahkan ke anggota keluarga.
"Jadi perlu juga data anak istrinya, jadi kita pernah temukan pejabat menyimpan uang itu di ajudannya, tukang kebunnya, seperti itu. Di Akil Mochtar misalnya, pada istrinya," kata Yusuf.
Yusuf mengaku pernah bertemu gubernur Bank Indonesia, menteri keuangan, dan sekretaris kabinet untuk membahas masalah transaksi tunai. Namun, Yusuf menyesalkan mereka tak kunjung mengeluarkan aturan sehingga PPATK berinisiatif membuat RUU Transaksi Tunai.
"Itu sudah di Kumham (Kementerian Hukum dan HAM), tentang pembatasan transaksi tunai," ujar Yusuf.
Dengan demikian, menurut Yusuf, undang-undang ini akan menekan kasus korupsi karena adanya pembatasan jumlah transaksi tunai.
"Kalau itu ada maka orang tidak bisa lagi nyuap, tidak ada duit, tidak ada sarananya. Kan takut nyuap dengan transfer, ketahuan," kata Yusuf.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.