Persoalan muncul ketika calon kepala daerah gagal meraih suara. Mereka kemudian membuat siasat dan mengadu domba rakyat. Itulah mengapa konflik yang muncul selama pilkada cenderung elitis dan bukan konfliknya rakyat.
Mengembalikan pilkada kepada DPRD tidak menjamin biaya politik berkurang. Yang terjadi, politik uang justru lebih mudah dilakukan kepada DPRD dibandingkan dengan kepada rakyat. Bahkan biaya politik pilkada oleh DPRD bisa lebih besar ketika kepala daerah sibuk mengurus DPRD yang memilihnya, aktivitas kepala daerah direcoki DPRD karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD.
Ketiga, usulan mengembalikan pilkada kepada DPRD sarat kepentingan. Dengan itu, akan sangat mudah bagi partai koalisi meraih posisi kepala daerah. Hal itu karena partai yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih menguasai mayoritas DPRD di seluruh Indonesia.
Keempat, mengembalikan pilkada kepada DPRD merupakan hukuman terhadap rakyat. Yang korupsi dan menghamburkan anggaran adalah DPR dan penguasa, yang melakukan politik uang partai dan politisinya, dan yang memicu konflik para elite, tetapi kenapa rakyat yang dihukum dan dicabut hak politiknya?
Sulit dimungkiri, keputusan Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD tak terlepas dari pertarungan dalam pilpres. Mereka menyadari telah dikalahkan oleh rakyat dan kini mereka hendak menghukum rakyat dengan mencabut kedaulatannya. Dengan itu, rakyat sebagai ibu tak kuasa lagi mengutuk Malin Kundang menjadi batu.
Sri Palupi
Peneliti Institute Ecosoc