JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta menggunakan kewenangannya untuk menyudahi pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah. Presiden menjadi kunci penting apakah pemilihan kepala daerah tetap dilakukan secara langsung atau oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
"Dia (SBY) mempunyai 50 persen kekuasaan di legislatif. Kami enggak perlu lagi macam-macam, kalau SBY tidak setuju, ya semua enggak bisa apa-apa," ujar pakar hukum tata negara, Refly Harun, yang juga tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada, saat unjuk rasa di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2014).
Menurut Refly, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat 2 dan 3, rancangan undang-undang diputuskan melalui keputusan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden. Artinya, presiden pun memiliki kewenangan konstitusional untuk menghentikan pembahasan RUU dengan berbagai pertimbangan.
"Kewenangan 50 persen SBY bisa digunakan untuk menggagalkan RUU yang dianggap tidak pro-demokrasi," kata Refly.
Refly kembali mengingatkan agar pelaksaanaan pemilu tidak diubah, tetapi prosesnya diperbaiki. Salah satunya adalah bagaimana pemerintah memperbaiki manajemen penyelenggara pemilu. Perbaikan juga perlu dilakukan pada data pemilih, jenjang penghitungan suara, hingga kemungkinan pemungutan suara secara e-voting.
Refly juga menyoroti pentingnya peningkatan penegakan hukum pada pemilu. Misalnya, jika ada yang terbukti melakukan politik uang, orang tersebut harus segera didiskualifikasi. "Banyak yang bisa dilakukan agar calon pemimpin itu menjadi tidak butuh biaya mahal dan berintegritas. Yang penting itu sistem pemilu," ujar Refly.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.