Pamannya juga menjelaskan budi pekerti dalam berbisnis. Pesan yang Hartawan ingat, antara lain, dalam berbisnis, penjual dan pembeli harus sama-sama untung. ”Kalau korupsi, hidup enggak akan berkah. Kaya, tetapi sakit-sakitan,” lanjutnya.
Setelah menjalankan budi pekerti, Hartawan merasa bisnisnya lebih lancar. ”Saya dulu temperamental. Setiap bulan bisa gebrak tiga meja kantor sampai hancur. Sekarang saya sudah tenang. Anak buah dan mitra bisnis pun senang,” katanya.
Karena merasa nilai budi pekerti leluhur bermanfaat dan universal, Hartawan memproduksi buku terjemahan bahasa Indonesia Di Zi Gui. Ia juga membuat DVD berisi testimoni orang yang hidupnya sukses dengan mengamalkan budi pekerti. Buku dan DVD itu ia sebarkan gratis kepada generasi muda Tionghoa. Sebagian ia sebarkan kepada karyawan dan mitra bisnisnya yang non-Tionghoa. Maksudnya agar mitra bisnisnya tahu budi pekerti dan etika bisnis etnis Tionghoa.
”Ternyata mereka tertarik dan mau mempelajarinya. Dengan sama-sama mengamalkan budi pekerti, kami saling percaya. Bisnis jadi lebih nyaman,” ujarnya.
Di lingkup keluarga, Hartawan, Ana, dan kerabat berusaha mempererat lagi tali silaturahim seperti yang diajarkan leluhur. Sejak 2012, mereka menggelar Imlek bersama sekaligus reuni keluarga di Bogor. Hartawan dan Ana menggelar acara makan bersama pada malam Imlek yang dihadiri setidaknya 130-an orang dari generasi ke-25, 26, 27, dan 28 keluarga Tjia. Selain dari Bogor, mereka juga datang dari Medan dan Surabaya. Rumah itu pun ramai dengan sanak saudara yang bertukar kabar. Acara tersebut diadakan sehari sebelum perayaan Imlek keluarga Tjia dan Tjoa.
”Inti dari ajaran budi pekerti adalah menjaga lima hubungan, yakni hubungan antara orangtua- anak, suami-istri, saudara, teman, atasan-bawahan. Hubungan-hubungan itu dijaga dan dihormati, termasuk dengan mengupayakan berkumpul di saat Imlek,” ujar Edy Mulianto.
Sosiolog Robertus Robert memberi catatan, perlu dibedakan antara bakti kepada leluhur dan bakti kepada tanah leluhur. Berbakti kepada leluhur tidak serta-merta berbakti kepada tanah leluhur.
”Bakti kepada orangtua dan leluhur adalah nilai yang telah mengalami universalisasi. Pada etnis Tionghoa, tidak berlaku pandangan yang menyatukan agama, etnis, dan tanah air. Leluhurnya bisa satu, tetapi nasionalisme dan politiknya bisa berbeda-beda,” kata Robert.
Maka, Imelda Fransisca, yang juga generasi ke-27 keluarga Tjia, dengan bangga berkata, ”Kami bangga sebagai keturunan Tionghoa, tetapi kami 100 persen Indonesia.”
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.