Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketika MK Tersapu Suap Pilkada...

Kompas.com - 10/10/2013, 10:38 WIB
Ferry Santoso

Penulis


KOMPAS.com - PENANGKAPAN Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar terkait sangkaan suap penanganan sengketa pemilihan umum kepala daerah, Rabu pekan lalu, ibarat gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan wibawa hukum.

MK sebagai penjaga konstitusi sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 yang direvisi dengan UU No 8/2011 memiliki kewenangan menguji UU terhadap UUD 1945 dan menangani sengketa atau perselisihan pilkada.

Penangkapan Akil terkait dugaan kasus korupsi sebenarnya tidak terlalu mengherankan. Mengapa? Pertama, selama ini, proses pilkada dikenal rawan praktik politik uang dan MK memeriksa banyak perkara sengketa pilkada.

Kedua, latar belakang pengalaman dan pendidikan hakim MK yang relatif beragam dapat memengaruhi sepak terjang mereka di MK.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng memperkirakan, seorang calon peserta pemilihan gubernur perlu menyiapkan Rp 50 miliar sampai Rp 100 miliar, sedangkan calon bupati atau wali kota butuh Rp 10 miliar-Rp 20 miliar.

Saat ini ada sekitar 500 kabupaten dan kota serta 34 provinsi. Jika dirata-rata, jumlah pilkada mencapai 100 pilkada per tahun. Di setiap pilkada, biasanya terdapat beberapa calon kepala daerah.

Dengan asumsi uang yang dikeluarkan calon-calon kepala daerah dalam sebuah pilkada sebesar Rp 100 miliar, uang yang beredar dalam 100 pilkada yang rata-rata terjadi per tahun mencapai Rp 10 triliun.

Hampir tidak ada calon kepala daerah yang ingin kalah dalam pilkada mengingat uang yang ”hilang” atau yang dikeluarkan cukup besar. Oleh karena itu, hampir semua pilkada yang digelar di Indonesia berujung pada sengketa di MK untuk memperjuangkan kemenangan.

Kondisi itu menunjukkan, penanganan perkara pilkada menjadi sangat rawan dengan ”permainan” uang. Tidak menutup kemungkinan, para pihak yang beperkara berusaha menyuap hakim yang memeriksa perkara untuk memenangkan pilkada dengan segala cara dan jaringan yang dimilikinya.

Dalam penangkapan Akil Mochtar, Rabu malam, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi juga menangkap anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, Chairun Nisa, Bupati Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Hambit Bintih, dan dua pengusaha.

Robert Endi menilai, pihak yang mengajukan permohonan ke MK dalam sengketa pilkada ada yang tidak murni. Artinya, pemohon bukan ingin mencari keadilan, melainkan berspekulasi dan mencari peruntungan politik.

Praktik politik uang di pilkada atau pencalonan anggota legislatif sudah menjadi sistem yang mengakar. Imbauan moral, kompetensi, tingkat intelektualitas, dan rasionalitas akhirnya menjadi tidak ada artinya.

Terkait dengan praktik politik yang semakin menggurita itu, Guru Besar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Franz Magnis-Suseno mengungkapkan, imbauan moral terhadap para politisi dan penyelenggara negara menjadi tidak berarti. Sebagai contoh, dari informasi yang diperoleh, calon yang akan menjadi calon anggota legislatif pun harus menyiapkan uang Rp 900 juta.

”Fokusnya, bagaimana mendapatkan dan mengembalikannya. Jadi, kita menanamkan politik uang secara struktural dalam sistem,” kata Magnis. Karena itu, jika struktur dan sistem politik seperti itu tidak diubah, segala macam imbauan moral akan percuma.

”Saya mengharapkan DPR berani secara serius mengatasi masalah. Soal ini bukan masalah partai ini atau partai itu, tetapi persoalan bersama,” katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Prabowo Ngaku Disiapkan Jadi Penerus, TKN Bantah Jokowi Cawe-cawe

Nasional
Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Orang Dekat Prabowo-Jokowi Diprediksi Isi Kabinet: Sjafrie Sjamsoeddin, Dasco, dan Maruarar Sirait

Nasional
Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang 'Hoaks'

Prabowo Diisukan Akan Nikahi Mertua Kaesang, Jubir Bilang "Hoaks"

Nasional
Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok 'Kepedasan' di Level 2

Momen Jokowi dan Menteri Basuki Santap Mie Gacoan, Mentok "Kepedasan" di Level 2

Nasional
Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Ditolak Partai Gelora Gabung Koalisi Prabowo, PKS: Jangan Terprovokasi

Nasional
Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Kapolri Bentuk Unit Khusus Tindak Pidana Ketenagakerjaan, Tangani Masalah Sengketa Buruh

Nasional
Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Kapolri Buka Peluang Kasus Tewasnya Brigadir RAT Dibuka Kembali

Nasional
May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

May Day 2024, Kapolri Tunjuk Andi Gani Jadi Staf Khusus Ketenagakerjaan

Nasional
Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Jumlah Menteri dari Partai di Kabinet Prabowo-Gibran Diprediksi Lebih Banyak Dibanding Jokowi

Nasional
Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran 'Game Online' Mengandung Kekerasan

Menparekraf Ikut Kaji Pemblokiran "Game Online" Mengandung Kekerasan

Nasional
Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi 'May Day', Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Jokowi di NTB Saat Buruh Aksi "May Day", Istana: Kunker Dirancang Jauh-jauh Hari

Nasional
Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi 'May Day' di Istana

Jokowi di NTB Saat Massa Buruh Aksi "May Day" di Istana

Nasional
Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Seorang WNI Meninggal Dunia Saat Mendaki Gunung Everest

Nasional
Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Kasus Korupsi SYL Rp 44,5 Miliar, Bukti Tumpulnya Pengawasan Kementerian

Nasional
Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Keterangan Istri Brigadir RAT Beda dari Polisi, Kompolnas Tagih Penjelasan ke Polda Sulut

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com