Posisi kejaksaan yang berada di bawah presiden akan membuat penanganan kasus korupsi rentan karena di bawah kendali kepentingan politik. Koruptor dari partai penguasa akan sulit disentuh. Upaya pemberantasan korupsi bahkan bisa menjadi alat membunuh lawan politik.
Kedua, di RUU KPK adalah terbukanya peluang penghentian penuntutan kasus korupsi di kejaksaan. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemangkasan kewenangan penuntutan KPK.
Ketiga, penyadapan akan lebih rumit. Padahal, kita tahu, selama ini penyadapan yang dilakukan KPK berperan penting di balik sejumlah penangkapan pelaku suap, baik anggota DPR, hakim, maupun jaksa. Kalaupun ada sejumlah pihak yang meragukan akuntabilitas penyadapan selama ini, seharusnya yang dilakukan adalah audit penyadapan. Agar lebih fair, audit harus dilakukan pada semua institusi penegak hukum dan intelijen dengan kewenangan penyadapan.
Keempat, tampak upaya memutihkan perkara korupsi yang terjadi sebelum KPK terbentuk dengan menghilangkan Pasal 68 UU KPK. Padahal, ini menjadi dasar hukum untuk memproses kasus seperti Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) atau kasus lain pada era Soeharto yang penanganannya belum selesai saat KPK dibentuk. KPK pernah membentuk tim untuk mengusut skandal BLBI yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. Tanpa Pasal 68, para koruptor BLBI akan diuntungkan.
Putusan MK
Selain empat poin di atas, poin kelima adalah draf ini melanggar putusan MK tentang tidak adanya kewenangan KPK menghentikan penyidikan dan konsep steger mechanism dalam kepemimpinan KPK.
Keenam, dengan dalih KPK harus diawasi, disisipkan pasal Dewan Pengawas KPK. Kita setuju semua kekuasaan harus diawasi, tetapi melihat pasal ini tampak adanya upaya untuk memperbesar kewenangan DPR memilih anggota Dewan Pengawas. Potensi intervensi politik terhadap penegakan hukum dan pemberantasan korupsi semakin terbuka. Hal ini terasa sangat paradoks di tengah sejumlah proses hukum yang menjerat para petinggi partai politik dengan tuduhan korupsi.
Selain itu, argumentasi yang menyesatkan dan ahistoris sering kali disampaikan sejumlah anggota DPR. Dengan alasan KPK adalah lembaga ad hoc, dalam pengertian bersifat sementara waktu, DPR menolak anggaran pembangunan gedung baru, perekrutan penyidik independen, pembentukan kantor cabang, dan hal-hal lain untuk meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi.
Padahal, jika diperhatikan, dalam proses pembahasan UU No 30/2002 tentang KPK, hanya satu Fraksi Golkar yang menyatakan bahwa KPK bukanlah lembaga permanen. Itu pun disampaikan pada pendapat mini fraksi dan kemudian tidak ditemukan pada pendapat akhir fraksi.
Tampaklah bahwa argumentasi hukum, sosial, dan politik yang mendukung penguatan KPK akan dikubur dan dibuang jauh- jauh bagi koruptor dan konco- konconya, yang penting, KPK harus mati!
Pada sebuah poster lain, di bawahnya tertulis, ”Jika Sudah Begini, Apakah Anda Akan Diam Saja? Bangkit! Lawan Korupsi!”
Para politisi bersih dan masyarakat sepatutnya bergabung dalam perang melawan korupsi. Perang melawan para vampir.
Febri Diansyah Peneliti Hukum Indonesia Corruption Watch
Kontroversi seputar wacana revisi UU KPK dapat diikuti dalam topik "Revisi UU KPK"