Hal ini diungkapkan oleh peneliti ICW, Emerson Junto. Menurutnya, kenaikan gaji dan tunjangan hanya salah satu bagian untuk meminimalkan kasus suap hakim, tetapi tidak sampai membersihkan. Meski begitu, kata dia, ICW sepakat, memang kesejahteraan hakim saat ini harus diperhatikan. "Kami sepakat kalau untuk kesejahteraan hakim memang harus dipenuhi. Ini setidaknya salah satu cara untuk meminimalisasi korupsi di kehakiman, oleh hakim. Tapi, untuk benar-benar bersih, kami tidak yakin," ujar Emerson dalam perbincangan via telepon dengan Kompas.com.
Perkara hakim yang terjerat suap bukan hanya karena alasan minim kesejahteraan semata, melainkan karena ketamakan. Ia mencontohkan kasus, Hakim Syarifuddin yang tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 1 Juni 2011. Menurutnya, dalam catatan sepak terjang sebagai hakim, Syarifuddin bukanlah hakim dengan gaji kecil. Saat ditangkap, ia adalah hakim pengawas di pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Telah banyak kasus yang ia tangani, termasuk di daerah. Syarifuddin yang pernah membebaskan 39 terdakwa kasus korupsi ini menerima suap dari PT SCI sebesar Rp 250 juta dan kumpulan mata uang asing senilai Rp 2 miliar. Oleh karena itu, kata Emerson, tidak ada jaminan yang pasti hakim akan bebas suap meski bisa diminimalkan.
Jika tak ada jaminan, kata Emerson, kini tugas Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, dan KPK yang harus unjuk gigi untuk mengawasi sepak terjang hakim jika tuntutan mereka terpenuhi. Tak ada ampun jika masih ada hakim yang terlibat kasus suap. Penegakan hukum harus tetap dilakukan. "Kalau masih saja terima suap, pecat saja. Enggak ada ampun. Kalau sudah diberikan reward, masih korup, berikan punishment yang keras, jangan dibiarkan," kata Emerson menegaskan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.