Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gaji Naik, Akankah Hakim Bebas Suap?

Kompas.com - 11/04/2012, 07:17 WIB
Maria Natalia

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Untuk pertama kalinya korps hakim Republik Indonesia mengungkapkan jeritan hati tentang ketidakadilan yang konon mereka alami dalam menjalankan tugas sebagai penegak keadilan.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie mengaku prihatin dengan nasib hakim yang terabaikan sehingga mereka sampai harus datang ke Jakarta mengadukan nasib kepada lembaga pemerintahan, dari satu pintu ke pintu lainnya. "Ini jadi puncak dari perasaan yang terpendam dari para hakim bertahun-tahun. Selain mereka datang ke sini dengan membawa harapan, ini juga bagian dari puncak kekecewaan hakim," kata Jimly saat mendampingi para hakim menemui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, di Jakarta, Selasa (10/4/2012).

Sebanyak 28 hakim yang tergabung dalam Gerakan Hakim Progresif Indonesia mewakili hakim di seluruh Indonesia mendatangi sejumlah institusi pemerintah untuk menyuarakan hak-hak konstitusinya. Beberapa lembaga mereka datangi, mulai dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hingga ke parlemen di Senayan.

Selain itu para pejabat negara tersebut juga mendatangi Mahkamah Konstitusi untuk mengajukan uji materi Pasal 25 Ayat (6) UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan TUN, Pasal 25 Ayat (6) UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama dan Pasal 24 Ayat (6) UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 25 Ayat (6) UU Nomor 51 Tahun 2009, mereka menilai frasa yang menyebut diatur lebih lanjut dengan peraturan perundang-undangan mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lain beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan adalah inkonstitusional.

Di dalam UU Badan Peradilan sudah diatur mengenai hak-hak hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman. Namun, dalam peraturan pelaksanaan lebih lanjut, belum ada yang mengatur tentang hal itu. Dengan demikian, UU itu menjadi kabur atau tidak jelas, mengakibatkan tidak dapat terlaksananya hak-hak seorang hakim.

Keluhan lain yang diutarakan para hakim adalah jabatan mereka yang secara jelas disebut sebagai pejabat negara dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Hakim. Namun, hak sebagai pejabat itu tak mereka peroleh, terutama dalam hal gaji dan tunjangan. Gaji mereka disetarakan dengan gaji pegawai negeri sipil (PNS). Namun, gaji PNS bertambah setiap tahun, sedangkan gaji hakim "jalan di tempat" sejak tahun 2008.

Saat ini besaran gaji pokok hakim sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2008, yaitu golongan III/a senilai Rp 1.976.000 dalam masa kerja 0 tahun dan golongan tertinggi IV/e masa kerja 32 tahun mendapat Rp 4.978.000. Tunjangan mereka tidak naik selama 11 tahun. Tunjangan hakim diatur dalam Keppres Nomor 89 Tahun 2001, di mana tunjangan untuk hakim pratama golongan III/a adalah Rp 650.000. Sementara tunjangan untuk golongan tertinggi IV/e hakim utama sebesar Rp 4. 250.000. Hingga saat ini tunjangan tersebut belum semua jatuh ke tangan hakim.

Menurut Jimly, berbagai tumpukan tuntutan hakim ini alangkah baiknya segera dibenahi oleh pemerintah untuk perbaikan dunia peradilan ke depan. Sebab, perkara ini bukan hanya soal uang gaji hakim, melainkan kehormatan hakim yang sering disebut sebagai wakil dari suara Tuhan dalam menjunjung kebenaran dan keadilan. "Ini perlu segera dibenahi. Hakim juga simbol hukum. Dia jadi sasaran tembak terus. Padahal, posisi dia paling lemah. Kalau dikritik, enggak bisa jawab. Kalau dipuji, juga tidak boleh menikmati. Dosa bangsa ini kalau enggak segera menyanggupi kesejahteraan hakim," papar Jimly.

Jimly mengatakan, menaikkan gaji hakim menjadi salah satu cara agar hakim tidak terpengaruh godaan dari luar terutama suap oleh orang yang beperkara. Meski demikian, ia mengaku itu bukan jaminan hakim tidak akan terjerat korupsi. "Tidak satu-satunyanya jaminan, tetapi itu salah satu elemen yang tidak boleh dilupakan. Kalau hakimnya baik dan independen, tidak ada gunanya nyogok pejabat lain. Polisi dan jaksa tak bisa disogok juga karena pada akhirnya hakimlah yang memutuskan sebuah perkara. Kalau hakimnya bersih, itu menjadi obat pembersihan seluruh sistem peradilan," tutur Jimly.

Sementara itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) sedikit berbeda pandangan mengenai hakim yang terjerat kasus suap. Jika pemerintah dan DPR menyetujui tuntutan hakim untuk menaikkan gaji dan tunjangan mereka, apakah dunia kehakiman dan peradilan akan bebas dari lingkaran suap-menyuap? ICW menyatakan, tidak.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

THN Ungkap Praktik Pembatalan Hasil Pemilu Terjadi di Berbagai Negara

THN Ungkap Praktik Pembatalan Hasil Pemilu Terjadi di Berbagai Negara

Nasional
Jelaskan Kenapa Hak Angket Pemilu Belum Berjalan, Fraksi PKB Singgung soal Peran PDI-P

Jelaskan Kenapa Hak Angket Pemilu Belum Berjalan, Fraksi PKB Singgung soal Peran PDI-P

Nasional
Kubu Prabowo Anggap Permintaan Diskualifikasi Gibran Tidak Relevan

Kubu Prabowo Anggap Permintaan Diskualifikasi Gibran Tidak Relevan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Minta MK Putus Gugatan Anies-Muhaimin Cacat Formil

Kubu Prabowo-Gibran Minta MK Putus Gugatan Anies-Muhaimin Cacat Formil

Nasional
Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Momen Hakim MK Tegur Kuasa Hukum yang Puja-puji Ketua KPU RI Hasyim Ay'ari

Nasional
Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Presiden Diminta Segera Atasi Kekosongan Jabatan Wakil Ketua MA Bidang Non-Yudisial

Nasional
UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang 'DKI'

UU DKJ Disahkan, Jakarta Tak Lagi Sandang "DKI"

Nasional
Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Bos Freeport Ajukan Perpanjangan Relaksasi Izin Ekspor Konsentrat Tembaga hingga Desember 2024

Nasional
Puan Sebut Antarfraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Puan Sebut Antarfraksi di DPR Sepakat Jalankan UU MD3 yang Ada Saat Ini

Nasional
Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Puan: Belum Ada Pergerakan soal Hak Angket Kecurangan Pilpres 2024 di DPR

Nasional
Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Beri Keterangan di Sidang MK, Kubu Prabowo-Gibran: Diskualifikasi dan Pemilu Ulang Bisa Timbulkan Krisis

Nasional
Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Bantuan Sosial Jelang Pilkada 2024

Nasional
KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

KPU Klaim Pelanggaran Etik Hasyim Asy'ari Tak Lebih Banyak dari Ketua KPU Periode Sebelumnya

Nasional
Bos Freeport Wanti-wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Bos Freeport Wanti-wanti RI Bisa Rugi Rp 30 Triliun jika Relaksasi Ekspor Konsentrat Tembaga Tak Dilanjut

Nasional
Sidang Sengketa Pilpres, KPU 'Angkat Tangan' soal Nepotisme Jokowi yang Diungkap Ganjar-Mahfud

Sidang Sengketa Pilpres, KPU "Angkat Tangan" soal Nepotisme Jokowi yang Diungkap Ganjar-Mahfud

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com