Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rasa Keadilan Hampir Mati

Kompas.com - 06/01/2012, 05:17 WIB

Muji mengakui, hukum di Indonesia saat ini justru menjadi sumber dari ketidakdilan. Itu terjadi karena hampir semua perangkat hukum memihak pada kekuasaan dan modal, bukan memihak pada kebenaran dan keadilan. Keadilan ditentukan oleh permainan kepentingan, kekuasaan, jabatan, dan uang.

”Kondisi ini berbahaya karena yang berlaku dalam kehidupan kita akhirnya seperti hukum rimba. Siapa kuat, dia yang menang. Masyarakat alami krisis dan hukum akan dilecehkan,” katanya.

Bagi Ali, hukum yang memanjakan penguasa dan menekan rakyat akibat dominannya politik dalam menyelesaikan problem bangsa. Banyak persoalan bangsa, termasuk kasus hukum, diselesaikan melalui negosiasi politik dengan mengandalkan legitimasi politik.

Terlalu legalistik

Menurut Soetandyo, putusan bersalah yang dijatuhkan kepada AAL karena hakim terlalu legalistik. Hakim tidak mampu memahami arti dan makna sekaligus kearifan yang terkandung dalam aturan hukum.

”Undang-undang itu dead letter law (hukum yang mati). Hukum menjadi aktif dan dinamik melalui kata hati dan tafsir hakim. Kalau putusannya aneh, itu bukan salah UU, melainkan hakimnya. Hakim harus pandai memberi putusan yang bisa diterima,” ujarnya, Kamis.

Hakim bukan komputer yang mengaplikasikan ketentuan tanpa melihat substansi hukum sendiri, yaitu rasa keadilan. Misalnya, aturan mengatur mencuri adalah sebuah tindak pidana. Pelaku tindak pidana harus dihukum. Ketika seseorang didapati mencuri sandal jepit, ia harus dihukum. Hal itu tak benar. Hakim, kata Soetandyo, seharusnya mempertimbangkan hal lain, seperti siapa pelaku pencurian itu.

Hukum, menurut dia, terasa tajam untuk rakyat kecil karena masyarakat tidak dilindungi oleh organisasi atau struktur. Kekuatan politik masyarakat rendah. Lain dengan pelaku korupsi yang justru dilindungi organisasi atau struktur pemerintahan.

Indriyanto mengutarakan, hakim sebenarnya bisa membebaskan AAL meski terbukti mencuri. Sifat perbuatan melawan hukum dalam suatu tindak pidana bisa dihilangkan dengan cara melihat besarnya kerugian atau dampaknya terhadap masyarakat yang luas. Untuk kasus kecil, seperti pencurian sandal jepit, pisang, dan kakao, pendekatan seperti itu yang juga disebut pendekatan keadilan restoratif (restorative justice). Pendekatan itu juga bisa digunakan pada tingkat penyidikan.

Ketua Muda Pidana Khusus Mahkamah Agung (MA) Djoko Sarwoko mengungkapkan, hakim masih sulit menerapkan pendekatan restoratif dalam menangani perkara. Keadilan restoratif sebenarnya masih merupakan wacana dan hingga kini belum dicantumkan dalam UU.

Djoko pun mengakui, MA melakukan uji coba penerapan keadilan restoratif di sejumlah pengadilan. Terkait kasus sandal jepit, ia berpendapat, seharusnya tak perlu sampai ke pengadilan.

Di Serang, Kamis, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengakui sedang memikirkan payung hukum untuk menghindarkan proses penanganan yang berlebihan terhadap tindak pidana yang melibatkan rakyat kecil dan menyangkut kasus kecil.

Dari Cilacap, Jawa Tengah, dilaporkan, dua pemuda yang diduga mengalami keterbelakangan mental kini terancam dihukum karena disangka mencuri sembilan tandan pisang. Kendati ada perdamaian dengan pemilik pisang, polisi tetap memproses hukum dan menahan keduanya, tanpa didampingi penasihat hukum.

(bil/iam/ray/why/ana/cas/gre/ina)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Jokowi Tak Diundang ke Rakernas PDI-P, Pramono Anung: Tanya ke DPP Sana...

Nasional
Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Pimpinan MPR Temui Jusuf Kalla untuk Bincang Kebangsaan

Nasional
Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Kemenkes: Subvarian yang Sebabkan Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Belum Ada di Indonesia

Nasional
Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Sri Mulyani Cermati Dampak Kematian Presiden Iran terhadap Ekonomi RI

Nasional
Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Menteri ATR/Kepala BPN Serahkan 356 Sertifikat Tanah Elektronik untuk Pemda dan Warga Bali

Nasional
Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Pernah Dukung Anies pada Pilkada DKI 2017, Gerindra: Itu Sejarah, Ini Sejarah Baru

Nasional
Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Pemerintah Akan Evaluasi Subsidi Energi, Harga BBM Berpotensi Naik?

Nasional
MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke 'Crazy Rich Surabaya'

MK Tolak Gugatan Anggota DPR Fraksi PAN ke "Crazy Rich Surabaya"

Nasional
Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Wapres Harap Ekonomi dan Keuangan Syariah Terus Dibumikan

Nasional
Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Wapres Sebut Kuliah Penting, tapi Tak Semua Orang Harus Masuk Perguruan Tinggi

Nasional
BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

BNPB: 2 Provinsi dalam Masa Tanggap Darurat Banjir dan Tanah Longsor

Nasional
Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Pimpinan KPK Alexander Marwata Sudah Dimintai Keterangan Bareskrim soal Laporan Ghufron

Nasional
Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para 'Sesepuh'

Drama Nurul Ghufron Vs Dewas KPK dan Keberanian Para "Sesepuh"

Nasional
Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Di Hadapan Jokowi, Kepala BPKP Sebut Telah Selamatkan Uang Negara Rp 78,68 Triliun

Nasional
Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Hadapi Laporan Nurul Ghufron, Dewas KPK: Kami Melaksanakan Tugas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com