KOMPAS.com — Erupsi Gunung Merapi meluluhlantakkan sejumlah dusun di Kecamatan Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ribuan orang kehilangan rumah dan kampung halaman. Tak ada lagi yang tersisa, kecuali pertanyaan ke mana harus memulai hidup setelah ini.
Cangkringan sebelum erupsi Merapi adalah kawasan pegunungan yang asri, masyarakatnya masih teguh merawat nilai-nilai kultural Jawa. Salah satunya diwakili juru kunci Merapi, Mbah Maridjan, yang tewas dalam erupsi 26 Oktober lalu.
Saat ini, gambaran kehancuran Cangkringan bisa dilihat dalam sejumlah tayangan media. Kampung Kinahrejo di Desa Pelemsari, Umbulharjo, tempat tinggal Mbah Maridjan, misalnya, kini tak bisa lagi dikenali. Kampung yang dulunya hijau dan riuh dengan kehidupan itu tidak menyisakan apa pun kecuali puing rumah dan gundukan material vulkanik segersang gurun.
Berjarak 4 kilometer-5 kilometer dari Puncak Merapi, Kinahrejo merupakan korban pertama yang terkena terjangan langsung lahar dan awan panas Gunung Merapi pada erupsi pertama, 26 Oktober. Nasib yang sama dialami Dusun Kaliadem dan Kalitengah Lor.
Sejumlah permukiman lain di sepanjang Kali Gendol menyusul dalam rangkaian erupsi hingga Jumat 4 November. Dusun Bronggang, Ngancar, dan Ngepring remuk dalam sekejap akibat gulungan lahar dan awan panas Merapi. Nyaris tak terbayangkan bagaimana kehidupan harus dimulai lagi di tempat itu.
Melihat kehancuran itu, wajar apabila penduduk yang kehilangan rumah dan segala harta benda pun merasa gamang bagaimana harus menata hidupnya kembali. Mereka terimpit antara ketakutan erupsi Merapi dan keinginan tidak tercerabut dari kampung halaman.
”Saya tetap ingin kembali ke desa saya. Bagaimanapun, saya orang ndeso. Di sana paling tidak saya bisa cari makan dari kambing, sapi, dan kebun. Di tempat lain, saya mungkin tidak tahu harus bagaimana,” tutur Widi Sutrisno (55), warga Pangukrejo, Umbulharjo, Cangkringan, yang mengungsi sejak tanggal 26 Oktober.
Kepala Desa Kepuharjo Heri Suprapto mengatakan, warga dan perangkat Desa Kepuharjo lebih berminat pada konsep relokasi lokal, yaitu pindah dari tempat rawan bahaya, tetapi tetap di satu desa. ”Soalnya, di desa kami tidak semua habis. Hanya permukiman di sekitar aliran Kali Gendol yang hancur. Jadi, masih ada daerah-daerah yang aman huni,” kata dia.
Untuk itu, kata Heri, penduduk sangat membutuhkan bantuan pemerintah dalam memetakan daerah aman huni di desa mereka. Kehancuran yang demikian berat di desa itu membuat sejumlah warga Kepuharjo tak ingin menempati lokasi rumah lama mereka. Heri sendiri kehilangan rumah dan semua ternak sapi perahnya.
Pada erupsi 4 November sekitar 4.000 sapi di desa itu mati terlanda awan dan lahar panas. Seorang warga desa itu, Sokiran (46), diduga bunuh diri ke sungai di dekat tempat pengungsiannya di Stadion Maguwoharjo, Sleman, karena kehilangan seluruh harta bendanya.