Anggota Komisi XI DPR, Dradjat Wibowo, berpendapat, politik keluarga di lingkungan pemerintahan lebih berbahaya dibandingkan dengan politik keluarga di lembaga legislatif. Sebab, politik keluarga di lembaga legislatif masih bisa dikendalikan melalui seleksi di pemilu, sedangkan nepotisme di pemerintah sama sekali tidak bisa dicegah.
”Kalau untuk DPR, rakyat bisa menyeleksi meski ia dicalonkan oleh parpolnya,” kata Dradjat.
Kekuasaan besar
Secara terpisah, Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang, Warsito mengatakan, politik keluarga yang lebih mengutamakan jabatan politik pada anggota keluarga terjadi akibat kekuasaan pimpinan partai politik terlalu besar. Kondisi itu di Indonesia diperparah dengan tidak jelasnya aturan main bagi partai politik, termasuk dalam menentukan calon anggota legislatifnya.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD hanya menyebutkan, syarat calon anggota legislatif atau caleg adalah anggota partai politik tanpa ada penjenjangan.
”Politikus juga memberi andil terjadinya politik keluarga karena mereka juga menikmati sistem yang menghambat partisipasi publik dalam berdemokrasi,” kata Warsito di Semarang, Selasa. Dominasi keluarga pimpinan parpol dalam pencalonan anggota legislatif atau pengisian jabatan politik lainnya lebih banyak menimbulkan kerugian daripada positifnya. Publik juga akan memandang negatif.
Warsito juga mengakui, lemahnya aturan main bagi parpol itu dimanfaatkan pimpinan parpol untuk membangun jaringan keluarga yang mengarah dinasti.
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari, Selasa (21/10) di Jakarta, menambahkan, maraknya penerapan pola kekeluargaan dalam perekrutan caleg dan jabatan politik lain adalah tanda yang paling kelihatan dari kegagalan parpol membangun sistem internalnya sehingga tidak ada mekanisme yang jelas dalam perekrutan itu.
Menurut dia, kegagalan ini harus segera diperbaiki karena Pemilu 2009 kemungkinan besar menjadi kesempatan terakhir bagi sejumlah tokoh karismatik yang selama ini menjadi patron di sejumlah parpol.
Pengajar ilmu politik di Universitas Airlangga, Surabaya, Daniel Sparringa, menilai, hubungan kekerabatan di balik jabatan parpol dan caleg makin luas dan sistematis karena jabatan di parpol dan parlemen dianggap hanya sebagai tempat mencari nafkah. Kaderisasi yang buruk juga membuat orang partai yang berkompeten semakin sedikit.
Penyebab lain politik keluarga ini, menurut Daniel, karena masyarakat mengambil jarak terlalu lebar dan menganggap parpol tak penting. Parpol kekurangan kader. ”Jalan pintas dari semua itu adalah melirik orang yang dikenal untuk mengisi posisi di parlemen dan parpol,” kata Daniel.
Menurut Daniel, akibat politik kekeluargaan ini, kredibilitas parpol kian terpuruk dan masyarakat makin tidak percaya. Untuk itu, parpol harus lebih terbuka terhadap orang baru. Namun, hal itu tak bisa dilakukan hanya dengan mengiklankan diri, apalagi hanya dengan membidik orang yang sudah populer. Solusi terbaik adalah membuka perekrutan dan kaderisasi yang lebih baik. (WHO/DIK/NWO/INA/INU/HAR)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.